Lirih suara itu berhasil menyentak Bia. Perlahan Bia membuka pelupuk matanya. Suara itu, ia mengenalinya.
Galih.
Seketika Bia menghela nafas lega. Menyadari, tangan kekar yang sempat menarik tubuh Bia bergabung bersama mereka di sana adalah Galih.
Bia melirik ke kiri, tepat di mana Barra duduk berjongkok loyo.
Ia kemudian mengangguk tanpa perlu berpikir panjang. Menyetujui maksud Galih untuk tak bersuara. Yakin bahwa Bia dapat menahan suaranya, perlahan Galih melepaskan tangan dari wajah Bia.Meski sempat dibuat senam jantung, Bia kini memahami maksud Galih. Diamatinya, lelaki itu tampak kesulitan mengatur nafas. Bibirnya memutih, sementara keringat dingin mulai bercucuran. Kepalanya ditundukkan dengan satu tangan menyangga tubunya pada tembok. Satu tangan lagi memegangi dada. Tentu saja ia tak mungkin memaksanya untuk tetap memacu langkahnya.
Tanggap, Bia segera menyeret beberapa bungkus sampah berukuran raksasa untuk ditumpuknya di ujung gang. Menghalau tubuh mereka dari pandangan penjaga panti.
"Uhuk-uhuk.." Ketiganya sempat terbatuk-batuk mencium aroma busuk dari sampah. Apalah daya, mereka tak ada pilihan lain.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Bia cemas pada Galih yang kini menyandarkan punggung dan kepalanya pada tembok. Ia mendongak. Sesekali memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Ia menggigit bibir.
Galih menggeleng singkat. Keringat dingin masih membanjiri wajahnya. Ia kemudian merogoh kantong celananya, mengeluarkan sebuah tabung kecil berisikan beberapa butir obat dari dalam sana. Sebuah pil ia tuang di telapak tangan. Lalu ia telan begitu saja.
Sementara Bia, sedari tadi ia hanya terdiam memerhatikan laki-laki itu. Melihat apa yang terjadi pada Galih, ia menyadari bahwa apa yang dikatakan laki-laki itu benar adanya. Galih, tidak bisa menghadapi anak-anak.
Tak menunggu lama, lelaki dihadapannya itu terlihat lebih tenang saat ini. Nafasnya perlahan mulai teratur. Ia menoleh menatap Bia.
"Sekarang kau percaya kan?" Tanyanya dengan santai.
Bia tak menjawab. Ia alihkan pandangannya ke arah lain.
"Hah... Baru juga mulai, sudah membuat repot saja." Gerutu Galih pada mereka.
"Kau tidak perlu khawatir paman. Cukup beri aku tempat tinggal saja. Aku bisa mengurus rumah, masak, cuci baju, mengurus anak tapi..." Bia memberikan jeda pada kalimatnya.
Galih menaikkan satu alisnya. Memerhatikan gelagat aneh bocah itu. Bulu kuduknya merinding, ia tahu pasti sebuah kalimat aneh jelas akan terlontar dari mulut bocah itu yang tak pernah disaringnya.
"Tapi belum bisa menjadi istri." Ceplos Bia enteng.Sontak Galih melempar tatapan tajam pada Bia.
"Sstt! Cukup! Hentikan! Yang jelas aku sudah katakan, aku tidak memiliki uang yang banyak jadi jangan berharap lebih padaku. Paham?!" Galih memberikan peringatan pada Bia.
Bia mengangguk paham.
"Omong-omong, aku baru menyadari." Galih kembali membuka topik.Bia ikut mengamati pandangan Galih yang kini memerhatikan mereka secara bergantian. Mulai dari Bia, Barra hingga Bagas.
"Pasukanmu banyak juga. Pasti merepotkan." Keluhnya mulai frustrasi.
**
Kriett...
Decit pintu kayu menyambut kedatangan mereka di sebuah rumah bergaya tradisional itu. Rumah yang cukup luas untuk ditempati Galih seorang diri.
"Wah.. kalau sudah rapi begini aku jadi bingung harus merapikan apa." Ucap Bia yang kini melangkah masuk sembari melihat-lihat seisi ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Подростковая литература"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...