BAB 21 SALAH PAHAM

11 0 0
                                    

"Istrinya masih muda ya Pak." Katanya menggoda Galih.


Galih menoleh. Dilihatnya seorang pria paruh baya duduk menghadap meja kasir.


Galih melirik ke sekeliling. Ia yakin, tidak ada pria lain disampingnya selain mereka berdua.

"A-aku?" Tanya Galih memastikan dengan siapa pria itu berbicara. Nadanya terdengar gugup. Sementara tangannya menunjuk dada.


Bapak itu tersenyum. Sebuah senyum yang membuat Galih semakin tidak nyaman. Ia membasahi bibir bawah. Menelan salivanya, lalu melirik pada Bia.

Ia paham, melihat penampilan Bia yang sibuk mengurus adik bayinya seperti ini, tak salah jika banyak orang mengira mereka adalah pasangan.


"Ck." Galih berdecak kesal.

Decakan itu terdengar jelas di telinga Bia, membuatnya mengalihkan perhatiannya pada Galih. Ia melempar tatapan penuh tanya di wajah polosnya.

"Kenapa?"


Galih lantas melengos. Enggan menjelaskan pada Bia. Melihat sikap Galih, Bia tak lantas ambil pusing. Ia mengedikkan bahu.

Galih menghela nafas berat. Agak ragu, ia berbalik menghadap kesamping dimana pria paruh baya itu terduduk.


"Maaf tap-tapi ini tidak seperti yang bapak pikirkan. K-kami bukan pasangan. Aku hanya membantunya. Sungguh." Jelas Galih dengan serius.


Tentu ia tak ingin orang-orang menilainya sebagai pedofil.


Bapak itu tak langsung menjawab. Ia mengamati Galih dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelaki itu tampak memesona. Jaket kulit yang membalut bahunya yang bidang, sepatu sporti yang ia kenakan dan rambut yang tertata rapi menambah kesan bahwa sosok dihdapannya itu cukup memerhatikan penampilan.

Pengamatannya kemudian beralih pada Bia yang duduk di balik punggung Galih. Bocah berambut pendek dengan kaos putih polos yang dikenakan itu tak menyadari bahwa dirinya tengah diperhatikan. Fokusnya tertuju pada bayi yang ada dalam pelukan. Tubuhnya kurus, serta pakaiannya tampak tidak modis. Pemandangan yang jauh berbeda dari sosok Galih.

"Ah begitu ya rupanya." Sahut Bapak itu sembari mengangguk.


"Ya begitu." Imbuh Galih menekankan.

Bapak itu kembali mengangguk paham sebelum akhirnya seorang petugas rumah sakit memanggilnya meninggalkan mereka.


Melihat respon Bapak itu, Galih menghela nafas lega. Setidaknya ia telah berupaya menepis kesalahpahaman itu.


"Kenapa?" Tanya Bia lagi.


Galih menggeleng. Tak bernafsu untuk menjelaskan. Ia memilih fokus pada hal lain. Duduk dengan kedua tangan ia katupkan bertumpu pada lengan di atas paha.


Bia mulai kesal. Untuk kedua kalinya lelaki di hadapannya itu bersikap dingin.


"Tapi, omong-omong apa mereka ini benar adik-adikmu?" Tanya Galih yang kini menaruh curiga pada Bia.

Meski berusaha untuk tidak memikirkan apapun, namun entah mengapa tiba-tiba saja kini semua mulai terasa mengganggu kepala Galih.


Bia yang semula tidak peduli, kini menatap kecewa pada Galih.


"Maksudmu?"


"Mungkin saja kan." Ucap Galih enteng.


Bia menyipitkan kedua matanya. Mencoba mencerna tiap kata yang terlontar dari mulut paman itu.


Sedetik kemudian kedua mata Bia membulat. Ia mulai paham arah pembicaraan mereka berdua.


"Kau berdosa sekali mencurigai anak teraniaya seperti ku paman. Kau tidak ingat ya pagi itu ayahku datang." Protes Bia tak terima.

SUARA BIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang