Pertemuan singkat Galih dan Felix membawa Bia pada pembicaraan serius dengan Galih saat ini. Galih sebagai wali yang bertanggung jawab merawat gadis itu tak mau memandang sebelah mata sosok Felix.
Baginya, apa yang dilakukan Felix adalah tahap awal seseorang bersikap protektif karena ingin memiliki apa yang diinginkannya dan semua itu dapat menjadi lebih rumit jika dibiarkan.
Mengambil posisi duduk pada kursi ruang tamu, Galih meminta Bia untuk berdiri menghadap padanya. Masih memakai seragam putih biru yang ia kenakan, Bia menurut pada walinya itu.
“Kenapa bisa sampai seperti ini?”
Galih menatap prihatin pada luka di wajah Bia.“Aku hanya berusaha menyelamatkan jualanku saja.”
“Lalu di mana benda itu sekarang?”
“Itu..” Bia memutar bola matanya ke atas, mencoba mengingat-ingat sesuatu.
PLAK!!
Bia menepuk jidatnya.
“ASTAGA! Aku melupakan kotak jajanku!” Ucapnya panik.
Terlalu puas membalas kekejaman Adel, tampaknya berimbas membuat Bia lupa bahwa dirinya masih memerlukan kotak jajan yang biasa ia gunakan untuk berjualan.
“Aku harus mencarinya lagi.”
Baru saja hendak melangkahkan kakinya, Galih segera menahan tangan gadis itu. Mengurungkan niat Bia.
Bia menoleh.
“Sudah mulai sekarang jangan berjualan lagi.”
“Tidak mau.” Bia menolak.
“Aku walimu. Jadi kau harus mendengarkan ku.”
Kali ini Bia terdiam. Melirik ke samping kiri, diperhatikannya Barra yang lebih dulu tiba di rumah sejak tadi sudah asik menonton televisi sembari memakan cemilan yang dikempitnya di lengan.
Bocah itu hanya mengenakan celana pendek serta kaos singlet putih polos. Sangat tidak peduli pada perdebatan sang kakak dan paman tampan yang menampungnya.
“Tapi menghidupi 3 anak bukan perkara mudah kan?” Suaranya terdengar lesu.
“Sudah kubilang, ini sudah jadi tanggung jawabku. Paham?!” Ujar Galih menekankan.
“Jadi, kau fokus sekolah, belajar. Kejar cita-citamu. Oke?” Lanjut Galih.
Bia tak menjawab. Ia menundukkan pandangannya, membuat Galih menatap bingung pada anak gadis itu.
“Kenapa? Kau punya cita-cita kan?” Lanjutnya bertanya dengan penasaran.
Bia masih terdiam. Ia terlihat sedang berpikir.
“Jangan bilang kau tidak punya.”
Belum apa-apa Galih sudah memasang wajah tidak siap bila harus mendengar jawaban yang tidak ia sukai.
Bia mengangguk.
“Ada kok.”
“Bagus!” Galih bernafas lega.
“Jadi orang kaya.” Celetuk Bia.
Galih nyaris dibuat murka. Ia menipiskan bibir, memejamkan mata lalu mengatur emosinya. Tangannya mengepal kuat berusaha untuk tidak menerkam bocah yang ada di hadapannya itu.
Lalu memaksa memberikan senyum malaikat.“Kak Bia, aku ada acara ulang tahun besok di rumah teman.” Barra yang semula hanya memerhatikan layar kaca, kini membenarkan posisi duduknya menghadap Bia.
“Tidak usah dat-.”
Bia tak sempat menuntaskan kalimatnya saat Galih lebih dulu memberikan isyarat diam pada Bia melalui telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...