Satu dari tiga bocah itu sempat menoleh. Sementara dua lainnya segera melarikan diri tanpa melirik. Akalnya bekerja cepat berusaha tak ada satupun orang yang akan mengenali mereka.
“JANGAN KABUR KALIAN!! WOI” Teriak Bia pada mereka.
Sayang, jalanan hari ini cukup sepi dari biasanya. Tidak ada satupun orang lain yang lewat.
Bia sempat mengejar gerombolan murid itu. Namun baru beberapa langkah diambilnya, Bia segera kembali ke tempat di mana seorang bocah laki-laki berseragam merah putih itu terkapar. Teringat bahwa bocah itu lebih memerlukan bantuannya segera.Wajah bocah itu tak terlihat. Terbenam ke tanah tak berdaya.
Meski begitu, gaya rambut dan struktur kepalanya terasa tak asing dalam ingatan Bia.
Ia menyipitkan mata, sedetik kemudian ia terhenyak. Dadanya terasa sesak. Langkahnya melambat, sebab kakinya terasa lemas.“B-Bbara?” Panggilnya terbata-bata.
Tak ada jawaban dari bocah itu. Tubuhnya kejang. Bia mendekat. Bersimpuh pada trotoar panas yang kotor.
Tangannya gemetar mengangkat kepala bocah itu. Dibalikkan badannya dengan hati-hati. Lalu meletakkan kepalanya di atas pangkuannya.
Linangan bergulir dari sudut mata Bia. Bia menggeleng, tubuhnya bergetar.
Bibirnya bergerak menyebut nama Barra tanpa sebuah suara. Menahan lara yang menyapa.
Tangisnya pecah. Ingin rasanya ia membenci kehidupan. Karena semesta tak pernah berpihak padanya. Semesta menyudutkannya.“Bertahanlah Barra! Kau harus bertahan!!” Gertak Bia dengan tangisnya yang pecah.
“TOLONG!” Teriak Bia sekuat tenaga memohon pada siapapun yang di sana. Berharap akan segera ada seseorang yang melintas.
“Kau bilang kakak harus menang! Kau tidak boleh putus asa! Dengar! Kakak akan menjadi pemenang! Kakak akan kesana bagaimana pun juga! AYO BANGUN! BARRA!” Bia berceloteh seorang diri.
Tak ada jawaban dari Barra. Bocah itu masih kejang. Darah keluar dari mulutnya. Matanya memar.
"Kau harus bertahan!! Jangan tinggalkan kakak! Kakak tidak punya siapa-siapa lagi! Hiks."
Tangisnya tak mampu ia bendung. Jemarinya menggenggam erat tangan mungil Barra yang berlumuran darah.
“TOLONG!” Panggil Bia lagi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak habis pikir bila tak ada seorangpun di sana.
“Kakak akan tangkap mereka. Kakak janji!” Bia mencium jemari Barra. Melihat sang adik yang tak mampu menahan sakit, Bia tak tahu lagi harus berbuat apa.
“Bagaimana kakak harus membawamu? Kakak sangat bodoh!” Gerutunya menyalahkan diri dengan tangis di wajahnya.
Ia sempat berusaha menerka-nerka bagaimana posisi yang tepat bila harus membopong sang adik sebab tak ada siapapun yang menolong saat ini.
TIN TIN TIN
Bia mengangkat kepalanya. Sedikit harapan ia miliki kala terdengar suara klakson mobil mendekati. Beruntung, seseorang berjiwa malaikat bersedia membantunya.
**
Sepanjang malam Bia tidak bisa memejamkan matanya. Ia duduk seorang diri di ruang tunggu dengan menatap kosong pada lantai rumah sakit.
“Kau tidak tidur?” Galih menutup pintu kamar rumah sakit lalu menghampiri Bia.
"Aku tidak mau kehilangan dia lagi." Ucap Bia masih menatap pada lantai.
Galih tak menjawab. Ia tahu betul apa yang Bia rasakan. Begitu banyak lara yang telah dilalui bocah itu.
"Kalau Barra tidak selamat. Apakah aku berdosa jika menghabisi pelakunya?" Tanyanya dengan suara bergetar.
"Jangan bicara yang aneh-aneh." Pungkas Galih.
Bia sontak menoleh. Menatap tajam pada Galih. Tak terima dengan sikap santai yang ditunjukkan Galih padanya.
Berdiri menghampiri Galih dengan mata merah, Bia berusaha mencengkram kerah Galih.
"Katakan padaku kau akan membantuku menghukum anak itu! Kita akan membawanya ke penjara!" Pinta Bia memaksa pada Galih.
Paman itu tak menjawab. Ia buang muka. Tak sanggup menatap Bia yang terpukul.
“PAMAN JAWAB AKU!” Pinta Bia. Suara Bia bergema mengisi kesunyian koridor rumah sakit.
Mau tak mau Galih lantas menundukkan pandangan. Menatap Bia yang bertubuh mungil itu berdiri di hadapannya. Bocah itu menantang dengan penuh berani. Sorot matanya memancarkan api dendam.
Galih menggenggam tangan mungil bocah itu. Perlahan melepaskan cengkeramanmya.“Tenanglah. Kita harus memikirkan bagaimana pun caranya agar Barra segera pulih. Itu yang paling penting.” Tuturnya menatap sayu pada Bia.
Lagi-lagi air matanya menetes. Bia tak kuasa menahan perih dalam batinnya tiap kali mengingat apa yang terjadi pada sang adik.
“B-biayanya. Itu tidak mudah.” Tutur Bia lesu.
Galih menggeleng.
“Aku akan usahakan.” Jawabnya mengusap lembut rambut Bia.
Sedikitnya berusaha menenangkan gadis itu. Meski sebetulnya ia sendiri tak tahu kemana harus mencari dana sebesar itu untuk kesembuhan Barra.
Bia mengusap air matanya. Sesuatu tiba-tiba melintas di kepalanya. Ia teringat akan sesuatu.
Tangan mungilnya merogoh isi tasnya. Ia mengeluarkan selembar kertas yang kemudian ia tempelkan pada dada Galih.Bia menunjuk kertas itu dengan menggebu-gebu.
“Ini paman. Aku mohon! Izinkan aku! Aku akan membayar semua hutangku ini. Aku mohon. Demi adikku!”
**
Kantung mata Bia tampak membengkak dua kali lipat pagi ini. Persetan dengan semua itu, dirinya tak risau asal bisa mengawasi tiap detik nafas yang dihembuskan Barra. Berharap sang adik akan segera pulih.
Mengawali pagi dengan penuh drama, Bia terpaksa harus berangkat sekolah setelah adu argumen panjang dengan Galih. Ia tak mau meninggalkan Barra. Kekhawatiran bila ia tak akan lagi menjumpai Barra begitu menghantui benaknya.
Di samping itu, kekhawatiran lain hadir kalau-kalau Galih tak akan mampu menjaga Barra dengan baik. Yang ada di kepala Bia hanyalah apapun yang terjadi pada Barra, asal Bia yang melakukannya itu sudah lebih dari cukup.
Bagai angin berlalu, Bia tak benar-benar serius menyimak apa yang diterangkan sang guru di depan kelas. Hatinya gundah. Beribu pertanyaan menaungi kepalanya.
Apa salah Barra? Siapa mereka? Untuk apa? Bagaimana Barra saat ini? Bagaimana ia harus membayar? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya tiada henti menghampir sejak pelajaran dimulai.
Bahkan saat istirahat berlangsung ia tak sudi bangkit dari bangku. Tak peduli pula dengan sapaan hangat yang diberikan Felix kala sengaja melintasi kelasnya.
Hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar hari ini, Bia masih bersikap sama. Murung.
Berjalan dengan gontai melintasi gerbang sekolah, dirinya tak peduli lagi bila tubuhnya terombang-ambing, tersenggol sana-sini atas ulah murid lain yang tak sabar ingin segera keluar dari sana.
Hingga tibalah saat itu, sesuatu begitu menarik perhatiannya. Sayu matanya berubah nyalang. Bia berlari menembus keramaian lautan siswa menuju gerbang sekolah. Tangannya gesit menarik kasar bahu seorang siswa yang kini berdiri dengan hoodie menutupi kepalanya.
Siswa itu menoleh.
BRAK!
“B*J*NG*N KAU!”
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Novela Juvenil"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...