BRUK!
Renyah bunyi benturan tubuh mereka di atas tanah. Waktu seakan berhenti sejenak. Kepalanya terasa agak pening. Ia tak memahami apa yang terjadi beberapa detik lalu.
"Sakit..." Rintih Barra.
Bia terengah-engah. Kini perih mulai terasa pada sikunya. Ia mengedarkan pandangan. Rengekan Bagas mulai terdengar, saat itu pula ia tersadar. Dirinya limbung di sisi jalan bersama kedua adiknya dalam pelukan.
Bia mengambil posisi duduk sembari mendorong tubuh Barra perlahan dari atas tubuhnya.
"Kalian tidak apa-apa?" Tanya Bia cemas.
Ia mengamati tubuh Barra dan Bagas. Lalu sedikit bernafas lega mengetahui kedua adiknya itu baik-baik saja. Beruntung tidak ada yang terluka parah.
Ya, beruntung pula Bia masih menyisakan sedikit kewarasan di tengah nestapa yang mendera kehidupannya.
Tak ingin mati sia-sia, Bia menarik tubuh Barra dengan kasar dari tengah jalan. Memaksa mereka untuk segera tiba di seberang jalan.TIN!! TIN!!!
Sebuah truk gandeng kembali melintas melewati mereka yang terduduk di tepi jalan. Bia menelisik, dilihatnya pergerakan si ibu panti tertahan karenanya.
Sekali lagi ia mengelus dada.
"Oi! Jangan duduk saja. Dia bisa saja menangkapmu sekarang juga." Tegur seseorang pada mereka.
Bia menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang pria bertubuh tinggi sedang mengulurkan tangan padanya.
Galih, ia sudah menunggu Bia di sana sejak tadi rupanya. Bia tak mau mebuang waktu. Diraihnya tangan laki-laki itu untuk membantunya berdiri.
"Kak, aku lelah." Rintih Barra yang kini membungkuk mengatur nafas.
Bia menatap prihatin padanya. Bimbang, jika menunggunya seperti ini tentu Ibu Panti akan menangkap mereka dengan mudah.
Ia kemudian beralih menatap Galih. Yang ditatap sudah merasakan hawa tak tak menyenangkan.
"Tidak. Biar aku bawakan tasmu. Tapi jangan paksa aku menggendongnya." Terang Galih bahkan sebelum Bia meminta.
Bia menarik sudut bibirnya masam. Kecewa sebab Galih lebih dulu membaca isi pikirannya. Tak ada pilihan lain, dengan berat hati Bia menyerahkan tasnya pada Galih.
Ia kemudian memutar bahunya, meregangkan otot-otot yang tegang setelah cukup lama berkutat dengan tas itu.
"AWAS KAU!" Teriakan ibu panti dan beberapa penjaga lainnya yang kini menyeberang jalan mencuri perhatian mereka.
Sontak, Bia dan Galih panik."Cepat lari!" Galih memberikan aba-aba pada Bia dan Barra.
Tangan kekarnya dengan cepat menyaut pergelangan Bia dan Barra dengan erat.
Mereka berlari menyusuri jalanan malam yang tidak rata. Penerangan yang begitu minim menambah ketegangan untuk memacu adrenalin mereka.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, langkah mereka terhenti beberapa detik kala bertemu persimpangan jalan.
Galih sempat menoleh ke kanan dan kiri.
"Kiri!" Ujar Galih panik sebelum akhirnya memilih berbelok ke kiri.
BLUK!
"Aduh. Kak.. uhuk. Barra tidak kuat." Rintih Barra terjatuh di atas tanah.
Hal itu lantas menghentikan langkah mereka. Ya, sejak tadi Barra terpaksa memacu langkah kaki kecilnya. Panik mendengar suara Ibu panti, tanpa sadar membuat Bia dan Galih melupakan rencana awal untuk menggendong Barra. Mereka tanpa sadar memaksa Barra untuk berlari sebisa mungkin menyamakan langkah lebar mereka. Kejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Jugendliteratur"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...