Bia menghela nafas. Tangannya mengepal kuat sementara kepalanya ditundukkan.
“Jangan menyimpan dendam. Manusia tempat berkumpulnya kesalahan. Ayo, temui Ayahmu.”
Galih menepuk bahu Bia.Bia menatap pada Galih. Ada rasa bimbang dalam batinnya. Ia tak tahu harus membenci atau merindukan Ayahnya.
Berjalan masuk dengan wajah tertunduk, perasaan tak nyaman berada di lingkungan lapas menyelimuti batin Bia kala itu. Bia mendengar sang Ayah menyapanya lebih dulu.
“Bia, Barra, bagaimana kabar kalian nak? Ayah rindu.” Ungkapnya dari balik jeruji besi.
Bia mengangkat kepalanya. Ia tak menjawab. Netranya menelusuri tiap inci wajah dan tubuh Ayah. Ayah terlihat sehat. Bahkan jauh lebih tarawat.
“Ayah! Barra juga rindu.” Ungkap Barra berusaha memeluk Ayah.
Rasa haru tak terbendung. Ayah tampak sangat merindukan anak-anaknya. Ayah kemudian melepaskan pelukannya.
“Eh gigimu sudah tanggal ya.” Ayah menyadari perubahan pada Barra. Membuat Barra tersipu.
Perhatiannya kini beralih pada anak gadisnya. Ayah menatap dalam pada Bia. Ia tahu betul, anak gadisnya itu masih belum memaafkan dirinya. Segunung rasa kecewa menggulung batin Bia.
Ayah mengulurkan tangan pada Bia. Berharap putrinya akan menyambut. Tak ada kata terucap dari keduanya. Hanya beradu pandang.
Satu langkah di ambil Bia. Mendekati Ayah dan membiarkan sang Ayah menyentuh pipinya. Ayah menitikkan air mata. Batinnya dipenuhi penyesalan. Ia tahu pasti, putrinya telah melalui banyak masa-masa sulit karenanya.
“Maaf. Maafkan Ayah.” Bisiknya pada Bia. Bia membisu.
“Bagas, dengan siapa?” Perhatian Ayah kini tertuju pada Galih yang sedari tadi berdiri di belakang Bia.
Bia menoleh.“Dia yang menolong kami sejak kami tidak memiliki siapapun.” Sahutnya dingin.
Ayah menunduk. Ia merasa malu telah merepotkan sosok tak dikenalnya itu.
“Namanya Paman Galih.” Sambung Barra.
“Ah, Galih ya.” Jawab Ayah memberikan senyum hangat pada Galih.
Galih balas tersenyum. Sekadar mencairkan suasana. Ia kemudian mendekat, membiarkan sang Ayah menyapa bayi mungilnya.
“Terima kasih.”
Ayah menyentuh lembut pipi Bagas. Memberikan kecupan singkat pada pipinya.“Tolong jaga Bia dan adik-adiknya. Tolong jaga mereka.” Pinta Ayah pada Galih.
Galih mengangguk. “Aku akan berusaha sebaik mungkin merawat mereka.”
Ayah tersenyum seraya mengangguk-angguk dengan tangan menyentuh dada kirinya. Lega mengetahui ketiga buah hatinya baik-baik saja.
“Argh..argh..”. Rintih Ayah tiba-tiba.
Semua mata menaruh atensi padanya. Tangannya meremas dada kiri, sementara wajahnya meringis menahan sakit luar biasa yang menghujam di dalam sana.
“Ayah! Ayah!” Panggil Bia dan Barra bergantian.
“Paman! Tolong Ayah!" Teriak Bia meminta bantuan Galih.
Galih tak tinggal diam. Ia ikut berteriak meminta tolong pada siapapun yang ada di sana.
"Tolong! Tolong!” Teriak Galih ikut panik. Tak menunggu lama, beberapa petugas sigap datang membantu.
**
Sebuah kebahagiaan yang Bia rasakan selama masa liburan tak berlangsung lama. Entah apa yang diinginkan semesta untuknya. Hidupnya seolah dipermainkan.
Teringat kata ‘Jangan terlalu banyak tertawa, nanti ujung-ujungnya menangis.’ Ingin menganggap mitos, namun itu benar terjadi pada Bia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Roman pour Adolescents"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...