BAB 18 RENCANA SEMESTA

7 0 0
                                    

(Sebelumnya)

Galih menempatkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Aku tidak tahu. Aku hanya membenci mereka."

"Apakah kau merasakan reaksi tertentu saat melihat banyak anak-anak?"

Galih mengangguk. "Ya, mendengar tangisan atau tertawa mereka terkadang membuatku mual dan pusing. Mereka sangat menggangu dan menyebalkan."

Pria berkacamata itu mengangguk paham. Air mukanya menyejukkan.

"Apa kau pernah berusaha melukai mereka?"

"Kadang."

"Mulai dari hal kecil atau sesuatu yang membahayakan nyawa mereka?"

Kali ini Galih terdiam. Sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

**
Galih berjalan seorang diri menyusuri gelap jalanan kota malam ini. Pandangannya kosong, sementara isi kepalanya masih terbayang-bayang pernyataan sang psikiater.

"Cobalah lawan ketakutanmu. Perlahan, berbaurlah dengan anak-anak. Itu akan membuat keadaanmu perlahan membaik." Begitu kira-kira isi kepala Galih. Membayangkan bagaimana pria berjas putih yang ia temui tadi menyarankan.

BRUK!.

Terlalu sibuk melamun alhasil membuat Galih tanpa sengaja menabrak seseorang. Beruntung tubuh kekarnya mampu menyeimbangkan diri dari hantaman. Tak lantas membuatnya limbung begitu saja.

Namun, lain halnya dengan sosok yang ditabraknya. Sosok itu terjungkal kebelakang.

Gelapnya jalanan hanya bergantung pada penerangan lampu kendaraan yang berlalu lalang membuat Galih kesulitan mengenali lawannya. Hanya sebuah siluet yang membentuk sosok gadis kecil bertubuh ringkih.

"T-tolong."

Galih menangkap getar dari suara gadis itu. Kali ini, lampu mobil yang datang dari arah belakang Galih berhasil menerangi sosok itu. Didapatinya seorang gadis kecil terduduk mendongak, menatapnya dengan wajah penuh harap.

Galih sempat terkejut. Wajah yang tak asing lagi rupanya. Ya, gadis pemberontak yang beberapa hari lalu ditemuinya itu. Bia.

Entah mengapa, kali ini Galih tak ingin berdebat dengannya. Ada sesuatu yang berbeda dari sorot mata Bia yang ditangkap oleh Galih.

**
Bia mengusap kedua telapak tangannya yang basah pada rok abu yang ia kenakan. Sesekali ia mengatupkan kedua bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Sebuah tas besar digendong dibahunya.

Langkah demi langkah ia ambil dengan begitu hati-hati. Mengendap-endap agar tak satupun penjaga panti yang memergokinya.
Perlahan tapi pasti, Bia membopong bagas keluar dari kamar. Kini ia beralih melangkah menuju kamar Barra.

"Barra, ayo ikut kakak." Bia mengusap lembut wajah Barra. Tak perlu usaha keras, Barra berhasil terbangun begitu saja bangkit dan duduk di atas kasur.

"Kakak?!" Serunya bersemangat menyadari sang kakak kembali setelah sebelumnya semua orang panik mencari keberadaan Bia. Cepat-cepat Bia membekap mulut Barra. Ia menggeleng sembari memberikan isyarat untuk tidak berisik.

Kompak, mereka lantas melirik kesekeliling ruangan. Beruntung, tidak ada yang terbangun mendengar suara Barra. Hanya ada beberapa anak yang menggeliat.

Bia menurunkan tangannya. Barra yang masih kebingungan pun mengangkat bahu dan tangannya, memberikan isyarat "Ada apa?"

Bia tak langsung menjawab, sekali lagi ia mencuri pandang di balik tubuh Barra.

"Ikuti kakak." Bisik Bia sembari mengayunkan tangan, mengajak sang adik untuk dituntunnya keluar kamar. Tanpa banyak bertanya, Barra mengangguk lalu turun dari tempat tidur mengekor di belakang sang kakak.

Kedua tangan mungilnya menggandeng erat milik Bia. Sementara Bia memimpin di depan sembari satu tangannya menggendong Bagas.

Mengendap-endap keluar pintu utama, perlahan membukanya. Bibirnya ia tutup rapat-rapat.

KRIEK...

Bia memejamkan mata. Sial! Umpatnya dalam batin. Suara pintu itu berhasil membuat separuh nyawa Bia nyaris meninggalkan raganya. Keringat dingin mulai bercucuran.
Bia memberanikan diri menengok ke belakang. Sedikit bernafas lega menyadari tak ada seorangpun di sana.

"Ayo cepat-cepat." Bisik Bia sembari mendorong pelan Barra keluar dari sana.

"BIA!!"

DEG!

Baru saja menginjakkan kaki keluar di teras, Bia terpental kaget.

Seseorang memergoki mereka.

"Kak." Panggil Barra pada Bia.

Ia mati gaya mendapati Ibu panti bertubuh gempal itu berdiri tak jauh dari balik tubuh sang kakak.
Bia tak menoleh, tak juga langsung menjawab Barra.

Ia lebih memilih berbicara dari mata ke mata pada Barra. Sementara Barra tampak ketakutan tak paham isyarat yang diberikan sang kakak.

"Jangan menatapnya ayo kabur!" Seru Bia langsung menggenggam erat tangan Barra.

Menggelendengnya berlari melewati gerbang besi besar dengan panik.
Langkah kakinya ia percepat, sementara tangannya tak henti menggenggam erat Barra. Meski ia tahu Barra kesulitan menyamakan langkahmya, namun Bia tak peduli. Ia memaksa Barra untuk tetap berlari melewati jalanan gelap bersamanya.

"Ayo sedikit lagi Barra!"

Persetan dengan beban berat di kedua tanggannya, Bia memilih tetap melaju menjauh dari kejaran penjaga panti.

Situasi semakin rumit saat Bagas mulai merengek merasakan guncangan yang mengganggu lelapnya.

"Sstt jangan menangis ya Bagas." Pinta Bia pada Bagas sembari berlari terengah-engah.

Sesekali ia membenarkan tas besar yang tergantung di bahunya.
Tepat pada persimpangan jalan, laju lari mereka terhenti. Sebuah truk besar melintas. Menghambat pergerakan mereka. Bia menoleh kebelakang sembari membenarkan posisi tas di bahunya.

"KEMBALI BIAA!!" Teriakan ibu panti semakin membuatnya panik.
Tak ingin tertangkap, Bia mempererat genggamannya pada Barra.

"Siap-siap ya." Ucapnya menatap tegas pada Barra. Barra mengangguk paham meski tersirat ketakutan dari wajah lugunya.

Tepat saat truk besar itu lewat, Bia nekat menyebrangi jalan besar bersama kedua adiknya. Langkah lebar diambilnya. Meski agak terseok-seok, namun tibalah mereka kini di pertengahan jalan.

Sial! Di waktu yang tidak tepat, langkah Barra mulai terasa berat. Barra terjatuh di tengah jalan. Ia terengah.
Masih dalam posisi menggandeng Barra, Bia menoleh. Menatap pada sang adik yang mulai pucat pasi.

"Ck!" Decak Bia kebingungan. Ia menoleh ke arah di mana Ibu panti berlari mendekatinya. Lalu beralih pada Barra yang bersimpuh. Bia tak ingin meninggalkannya begitu saja.

"Sedikit lagi Barra!" Ucapanya menyemangati. Wajah sang adik tampak letih.

"BIA!!" Teriakan ibu panti samar-samar terdengar beberapa meter dari mereka.

Bia mulai panik. Ia menarik tangan Barra dengan paksa. Lalu tepat saat momen itu berlangsung, terdengar lengking klakson sebuah truk gandeng yang menyentak mereka.

TIINNN!!!

Bia menoleh. Suara klakson berdengung memecah keheningan malam itu. Cahaya lampunya perlahan mulai mendekati tubuh mereka. Bia menyipit, mencoba menghalau silau dari cahaya lampu truk itu. Untuk beberapa detik, otaknya seakan membeku.

Ia tak tahu harus bagaimana.

"Inikah akhir perjalanan hidup kami? Mungkin kah ini yang terbaik untuk kami? Dari pada kami merasakan sakit setiap hari. Bukankah ini yang terbaik? Ya, mungkin ini sudah jalan kami."

SUARA BIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang