Sebuah panggilan darurat baru saja diterima tim Pemadam Kebakaran. Anggota yang dikerahkan untuk mengayomi masyarakat itu dengan sigap bergegas meluncur menuju TKP.
Namun, baru setengah perjalanan dilalui, jalur mereka dihadang segerombolan pendemo. Sirine yang mereka gaungkan seolah tak ada artinya. Tak seorangpun peduli dengan alarm darurat itu.
"Ah sialan." Umpat salah satu dari mereka.
Tak ada pilihan lain, mereka harus turun dari mobil untuk bernegosiasi dengan orang pendemo. Meski sebetulnya malas betul melakukan hal ini.
Tak jarang mereka negosiasi yang mereka justru berakhir menjadi cekcok. Sampai-sampai waktu mereka terbuang sia-sia.
"Permisi! Bapak-bapak, Ibu-ibu mohon permakluman dan bantuannya minggir sebentar ya pak! Kami harus segera meluncur ke TKP dan ini adalah tugas darurat. Mohon pengertiannya." Teriak salah satu dari petugas.
Tak ada satu orang pun yang peduli. Mereka sibuk menggaungkan suara masyarakat miskin yang merasa terbebani.
"Sekali lagi, mohon pengertiannya bapak, ibu!" Pintanya lagi. Namun lagi-lagi mereka bergeming. Berlagak tuli dan menganggap suara petugas damkar hanya angin berlalu.
Permintaan mereka tak kunjung juga diindahkan.
"Sudah ku bilang kan. Kita putar balik saja." Keluh putus asa petugas dengan bet bertuliskan 'Niko'.
"Tidak bisa. Kita sudah setengah jalan. Kalau putar balik akan lebih jauh lagi." Tolak rekannya dengan tegas.
"Lihatlah, malah ada yang berjualan di sini. Bagaimana bisa ini dibiarkan?!" Lanjutnya menaruh atensinya pada seorang gadis kecil yang begitu antusias berjualan di sana.
Tak ingin basa-basi, petugas itu lantas menghampiri.
"Hei nak. Tolong menepi." Perintahnya pada gadis belia itu. Gadis dengan surai hitam yang dikuncir kuda itu sibuk bertransaksi jual beli dengan beberapa pendemo yang kelaparan.
Setali tiga uang dengan pendemo lainnya, boca itu abai.
"Hei, cepat menepi!" Pintanya lagi. Tetap berusaha meskipun untuk kedua kalinya ia tak juga digubris.
"Heh nak! Kau tidak dengar ya?!" Kali ini ia meninggikan suaranya. Kepalanya mula terasa gatal.
Tak sia-sia, sentakannya itu berhasil membuat bocah ceking itu menoleh.
Didapatinya seorang laki-laki berusia 30-an berdiri dengan gagah di hadapannya. Seragam biru bertuliskan nama 'Galih' membalut tubuh kekar laki-laki itu.
Meski wajahnya sedikit tertutup topi, namun dari sudut pandang tubuh mungil itu terlihat jelas wajah rupawannya.
Garis hidung dan rahang tegas berpadu sempurna dengan iris yang menatap tajam.
"Oh, Paman dari tadi berbicara denganku?" Tanyanya dengan iris yang memancarkan kepolosan.
Petugas itu merubah posisi berkacak pinggang. Menggigit bibir lalu menggaruk pelipisnya, kesal. Rupanya bocah itu bukannya tak mendengar, melainkan memang tidak peduli.
"Namaku Bia. Paman panggil saja Bia." Sambungnya enteng. Ia justru mengajak berkenalan petugas yang sejak tadi memanggilnya 'Heh'. Tak menanggapi permintaan awal sang petugas.
"Siapapun kau, itu tidak penting." Galih mengibaskan tangannya.
"Lagi pula Paman sejak tadi panggil 'Heh nak.' aku kan juga punya nama. Mana aku tahu paman sejak tadi bicara padaku!" Gerutu Bia.
Galih memicingkan mata.
"Memangnya di sini ada anak lain selain kau?"
Mendengar pernyataan Galih, Bia menoleh ke belakang. Sejauh ia mengedarkan mata, memang tak ia jumpai anak-anak seusianya selain dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...