“Jangan alihkan pembicaraan. Aku mendengar kau memanggil muridku Bi. Kau sudah dewasa. Tidak seharusnya memanggil anak di bawah umur dengan panggilan sayang bak orang yang sedang menjalin hubungan.” Ceroscosnya pada Galih.
Galih sontak terkekeh.
“Hahaha Elsa, Elsa. Ckckckk” Galih menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran wanita itu.
“Memang kenapa dengan panggilan Bi? Apa yang kau pikirkan? Bisa saja Bi, Bi, emm Babi?” Gurauan Galih memantik lirikan tajam dari Bia.
Menyadari itu Galih lantas menutup bibirnya rapat-rapat.
Ia kemudian berdeham. Mengalihkan pandangannya pada Elsa yang tak tertarik dengan gurauan tak lucu Galih.“Cih, Kau bahkan tidak tahu nama muridmu sendiri.”
Elsa mengernyit. Berpikir keras sembari bergumam menyebutkan nama Bia.
“Bi. Bi.. Bia?” Tanyanya seorang diri.
Galih tak menjawab. Ia hanya melempar pandangan dingin pada Elsa. Membiarkan wanita itu untuk berpikir.
“Ayo.”
Tak ingin membuang waktu, Galih latas menggandeng Bia melewati sang Guru begitu saja.Melanjutkan perjalanan menuju parkiran, Galih melihat sebuah kedai es krim yang tampak lezat.
“Karena kau lolos, jadi aku akan mentraktir mu.” Ucap Galih pada Bia.
“Sungguh?” Bia tersenyum lebar.
Galih mengangguk dengan dada busungkan.
Ia kemudian menggiring Bia untuk duduk dan memesankan es krim yang ia mau.
Tak berselang lama, ice cream yang dipesan tiba. Galih mengambil posisi duduk berhadapan dengan Bia.
“Enak?” Tanya Galih pada Bia.
Bia mengangguk cepat. Senyum ceria terlukis jelas pada wajahnya. Hari ini seolah menjadi salah satu hari terrindah untuknya.
“Hemm..” Gumam Bia merem melek menikmati legit es krim yang memanjakan lidahnya.
Bibir Galih tersungging.
“Paman, bisa kita bawahan untuk Barra juga?” Tanya Bia sembari menelan es krim yang ada di mulutnya.
Galih kembali mengusap kepala Bia.
“Kau sangat menyayangi adikmu ya. Rasanya kau selalu mengingat mereka.”
Bia tertunduk untuk kemudian kembali mengecap satu sendok es krim.
“Oh ya. Candaan paman tadi sangat tidak lucu. Paman sangat payah membuat lelucon.” Bia memberikan jempol ke bawah pada Galih.
Galih menerka-nerka. Mencoba mengingat candaan apa yang dimaksud Bia.
“Ah itu. Oke oke. Aku minta maaf.” Katanya pada Bia yang kini memutar bola matanya malas.
“Omong-omong wajah kalian bertiga tidak mirip. Kau mirip siapa? Ayah? Atau Ibu?” Iseng Galih bertanya lalu menyuap satu sendok.
“Aku lebih seperti Ayah. Sementara Barra, dia mirip Ibu.”
Galih mengangguk, mulutnya membentuk huruf ‘O’.
“Lalu Bagas?”
“Bagas?” Bia tiba-tiba terlihat murung.
“Entahalah. Dia tidak terlihat Ibu ataupun Ayah.” Ucapnya agak lesu. Ia menggeleng, tidak mau hal itu mengusik pikirannya.
Galih berdeham. Menyadari ekspresi Bia, ia segera mengalihkan pembicaraan. Dirinya merasa tak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Teen Fiction"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...