"Siapa kau?" Tanya lelaki itu.
Sontak, kedua mata Bia melebar. Bibirnya menganga tak percaya.
"Wah yang benar saja. Paman tidak ingat namaku? Aku bahkan bisa mengingat namamu dengan jelas. Galih. Benar kan?" Protesnya.Bia dengan percaya diri menyebut nama laki-laki di hadapannya. Ia yakin betul tak salah mengenali wajahnya.
Ya, wajah menyebalkan yang ia temui beberapa hari lalu.
Sementara Galih, laki-laki itu menaikkan satu alisnya. Ia dibuat kebingungan bagaimana bocah ingusan itu tahu namanya.Galih melirik pada dadanya. Seragam biru yang ia kenakan saat ini sedang terbalut jaket kulit. Bocah itu tentu tidak bisa melihat namanya dari sana. Lalu, bagaimana bisa bocah itu tahu namanya?
"Kau tidak ingat aku?" Tanya Bia polos.
Galih memicing, lalu menatap wajah Bia dengan seksama.
"Dari wajahmu yang berantakan dan penuh luka sepertinya kau bocah kriminal." Sahutnya santai tanpa berpikir panjang. Tangannya menunjuk pada beberapa luka di wajah Bia.
Bia bedecak kesal. Kesan pertama orang itu cukup membuatnya kecewa.Tak kehabisan akal, Bia lantas mengangkat kotak gorengannya. Berharap dengan begitu Galih akan lebih mudah mengingat siapa dirinya.
Untuk beberapa detik Galih terdiam. Berupaya menerka-nerka. Beberapa detik kemudian ia teringat sesuatu.
"Ah pantas saja. Benar ternyata." Galih mengangguk-angguk. Kali ini ia bisa mengingat jelas siapa gadis di hadapannya itu.Memosisikan tubuhnya dengan nyaman di atas kursi, Galih kemudian meraih secangkir kopi dihdapannya.
"Dengar nak. Tentang semua yang kau bicarakan tadi, itu berarti memang bukan rezekimu. Rezekimu sudah di atur hanya segitu. Syukuri saja." Ucapnya dengan santai, lalu menyesap secangkir kopi yang ada di tangannya.
Mendengar jawaban itu, seketika raut wajah Bia ditekuk.
Matanya kemudian melerik ke sisi kanan. Bibirnya tersungging dengan kepala dianggukkan. Seakan ia paham.
"Ah begitu ya. Kalau begitu.." Bia tak langsung melanjutkan kalimatnya.Ia berjalan mendekati seekor kucing telon yang saat ini sedang bermain-main di dekat pohon palem.
Ya, seekor kucing yang sebelumnya telah berani mengganggu jam makan siang Galih.
Tangan mungil Bia membawa kucing itu dalam dekapannya. Tak ada perlawanan dari si kucing. Bia memutar tubuh. Lalu berjalan mendekati di mana Galih sedang duduk santai.Laki-laki itu meletakkan cangkir pada meja. Dengan kening berkerut, sedari tadi pandangannya tak lepas dari bocah itu.
"Kalau begitu.. Biar dia melanjutkan makan siangnya." Sambung Bia sembari tanpa ragu meletakkan tubuh kucing itu di atas meja. Bibir Bia tersungging, membiarkan kucing itu menjilati kue milik Galih.
"HEI!" Teriak Galih dengan melotot.Suara kencangnya membuat segelintir orang yang ada di sana ikut terpanggil menoleh padanya.
Galih melirik ke sekitar. Sadar tengah menjadi pusat perhatian, Ia lantas berdeham lalu menyembunyikan wajahnya.
"Ini juga sudah menjadi rezeki kucing ini paman." Ucap Bia dengan santai.
Galih menipiskan kedua bibirnya. Sementara kedua matanya melotot, tangannya mengepal berupaya meredam amarahnya.
"Dengar paman. Kau pernah dengar kan? Jika dua orang dipertemukan kembali, itu bukan tanpa alasan. Ada karma yang perlu diselesaikan. Begitu juga dengan kita sekarang. Kau harus mengganti uangku saat itu." Tutur Bia seraya menatap kucing dan Galih secara bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA BIA (TAMAT)
Ficção Adolescente"Bia, Ibu tahu, ini semua hanya keisenganmu untuk lari dari hukuman. Tapi hukuman tetaplah hukuman, Bia. Kau tidak bisa lari dari itu." Lanjut sang Guru menyadarkan Bia dari lamunannya. Sorot matanya penuh kekecewaan. Tangannya mengepal, mencengkera...