Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian.
Aku mendatangi Pak Bront terlebih dahulu. Aku mendatanginya dan memegang tangannya sambil manahan air mata di mataku. Pak Bront tersenyum namun senyumnya memudar ketika aku mengatakan, "Bront... I'm so sorry" dengan lirih.
Dia menatapku dengan bingung dan cemas. "What do you mean my lady?"
Aku menelan ludah, menahan air mata yang mengancam akan mengalir. "I... I can't."
Sebelum dia sempat merespon, aku berbalik dan berjalan menuju Pak Jeffrey. Wajahnya penuh harap, namun aku harus menghancurkan harapannya juga. "Pak Jeffrey, i'm so sorry," kataku pelan.
Ekspresi di wajahnya berubah menjadi sedih dan kecewa. "Valerie..."
Aku menggeleng, menahan air mata. Tanpa menunggu respon lebih lanjut, aku meninggalkan pesta. Langkahku cepat, hampir seperti berlari, ingin segera keluar dari situasi yang begitu rumit dan penuh tekanan ini. Di luar, aku memanggil taksi dan masuk ke dalamnya.
Saat taksi mulai bergerak, aku merasa dadaku sesak. Aku menatap keluar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berkedip-kedip, mencoba menenangkan pikiran yang kacau. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan lagi, dan aku merasakan kelegaan yang aneh meskipun hati ini penuh dengan kebingungan.
Aku pergi ke salah satu hotel terdekat, mencari tempat untuk beristirahat dan merenung. Setibanya di lobi hotel, aku mendaftar dan segera menuju kamar yang diberikan.
Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di dinding. Wajahku tampak lelah dan penuh kebingungan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang berantakan.
Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Kuambil ponselku dan melihat ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Bront dan Jeffrey. Tapi aku belum siap untuk menghadapi mereka.
Aku mengirim pesan singkat kepada Kana dan Tito, memberitahu mereka bahwa aku baik-baik saja dan hanya butuh waktu untuk sendiri. Mereka pasti khawatir, tapi aku tahu mereka akan mengerti.
Aku memutuskan untuk menjauh dari semuanya, memberikan diriku waktu dan ruang untuk berpikir dengan jernih tentang perasaanku dan keputusan yang harus kuambil.
•
•
•Seminggu berlalu, dan aku telah memutuskan untuk pergi ke Jerman dan tinggal bersama tanteku untuk sementara waktu. Keputusan ini aku ambil setelah banyak pertimbangan dan introspeksi. Aku butuh waktu dan ruang untuk benar-benar memahami perasaanku.
Di hari keberangkatan, Tito dan Kana menemaniku ke bandara. Mereka terkejut ketika aku mengabari bahwa aku akan pergi ke Jerman. Meski begitu, mereka tidak membahas peristiwa di pesta minggu lalu, menghormati keputusanku untuk tidak membicarakannya. Kami berpelukan erat di terminal keberangkatan, air mata mengalir di pipi kami.
"Vale, jaga diri baik-baik di sana, ya," kata Tito dengan suara serak.
"Napa sih lo pake acara pergi, padahal kan ada kita yang terus-terusan sama lo" tambah Kana, matanya juga berkaca-kaca.
"aku tau kok, cuma keputusanku udah bulat," jawabku, berusaha menahan air mata.
"gue ga bisa ngelarang, tapi ya udah kalau emang ini yang terbaik, take care ya" ujar Kana dengan air mana yang tak bisa dia tahan lagi.
"maaf ya kalau selama ini gue nyebelin, take care vale, we will miss you" tambah Tito
Kami berpelukan sekali lagi sebelum aku melangkah menuju pemeriksaan keamanan. Aku melambaikan tangan, melihat mereka berdiri bersama di belakang, mendukungku dengan senyum penuh harap.
Perjalanan ke Jerman terasa seperti awal baru. Aku merenung sepanjang penerbangan, membiarkan pikiranku melayang jauh, memikirkan segala hal yang telah terjadi. Tiba di bandara Frankfurt, aku merasa sedikit lega melihat tanteku yang menungguku dengan senyuman hangat. Dia memelukku erat, memberi kenyamanan yang sangat kubutuhkan.
"Welcome to German darling" katanya dengan lembut.
"Tell me about Jakarta and maybe your boyfriend?" tambahnya dengan senyum menggodaku.
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit canggung tapi juga bersyukur karena tanteku selalu bisa membuat suasana menjadi ringan. "Jakarta is as bustling as ever, Tante. So much has happened lately," jawabku, menghindari langsung masuk ke topik yang lebih berat.
Tanteku tersenyum, matanya memancarkan kehangatan dan pengertian. "Well, we have plenty of time to talk about everything. Let's get you home first, and then we can sit down with a nice cup of tea and you can tell me all about it."
Kami menuju mobilnya, dan perjalanan ke apartemennya diiringi oleh percakapan ringan tentang cuaca, perjalanan, dan rencana-rencana selama aku tinggal di sini. Setibanya di apartemen, aku disambut dengan aroma harum makanan yang sudah disiapkan.
Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat. Aku menceritakan segala hal tentang Jakarta, teman-temanku, pekerjaan, dan akhirnya tentang Bront dan Jeffrey. Tanteku mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Valerie, cinta memang sering kali rumit," katanya bijak. "But you have to follow your heart and do what is best for yourself. Don't let yourself get caught up in feelings of guilt or pressure from other people."
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah berbagi ceritaku. "I know, Tante. That's why I came here. I need some time to think and figure things out."
Tanteku tersenyum dan memelukku. "I'm glad you're here, Valerie. Take all the time you need. Remember, you're not alone sayang."
Aku menuju kamar yang sudah disediakan oleh tanteku dan beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mr Right • Jeffrey Dean Morgan • Bront Palarae•
RomanceDi tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, di mana perbedaan budaya dan impian menyala di setiap sudut jalanan, terbentang kisah cinta yang tak terduga. Valerie Guntara, pekerja kantoran berusia 25 tahun di perusahaan Jeffrey. Hari-harinya diwarnai oleh i...