Hari pernikahan Kana dan Tito akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap di hotel tempat mereka menginap, membantu Kana dengan gaunnya yang indah. Suasana di kamar penuh dengan kebahagiaan dan kegugupan.
"Aku ga nyangka kamu bakalan nikah ama Tito" ujarku sambil tersenyum menggoda Kana.
"Gue juga nggak percaya ini kejadian!" seru Kana dengan senyum lebar, sementara aku dan makeup artist terus sibuk memastikan riasan serta gaunnya sempurna.
"Kamu beneran cantik banget, Na," ujarku sambil membetulkan sedikit rambut yang jatuh di wajahnya.
"Thanks, Vale. Gue juga masih nggak percaya gue bakal nikah hari ini," jawabnya, matanya berbinar-binar.
Tito sudah siap lebih dulu, terlihat tampan dengan setelan tuxedo-nya. Dia muncul di kamar dengan wajah penuh kebahagiaan. "Udah siap, Na?" tanyanya sambil tersenyum hangat.
Kana tersipu-sipu malu, dan aku nggak bisa menahan senyum melihat mereka berdua. Mereka benar-benar pasangan yang serasi.
"By the way, jangan lupa buat simpan tempat lo di barisan terdepan ya. Lo kan bridesmaid kehormatan!" ujar Tito merangkul bahuku.
Setelah sesi foto dan persiapan selesai, kami semua bergerak menuju lokasi pernikahan. Sebuah taman yang indah dengan pemandangan yang menakjubkan, dihiasi bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang menambah kesan romantis.
Aku duduk di antara tamu lainnya, menyaksikan momen ketika Tito menunggu di altar dengan senyum tegang, sementara Kana berjalan di lorong dengan senyuman terindah yang pernah aku lihat.
Air mata haru menetes dari mata semua orang, termasuk aku. Ini adalah momen yang indah, melihat dua sahabatku akhirnya mengikat janji suci.
Saat Akad Nikah selesai dan mereka resmi menjadi suami istri, semua orang bersorak, memberikan selamat kepada pasangan bahagia itu. Kana memelukku erat setelah itu, "Thanks for being here, Val. Lo udah jadi support system gue selama ini."
"Aju yang harusnya bilang makasih udah undang aku. Aku seneng banget liat kalian bahagia," jawabku, menahan air mata haru.
Setelah acara formal selesai, pesta dimulai. Semua orang berdansa, tertawa, dan merayakan cinta yang baru saja disatukan. Aku duduk sejenak di sudut ruangan, menyesap segelas jus, menikmati suasana yang hangat.
Di tengah-tengah pesta, Kana dan Tito datang mendekatiku, membawa sepotong kue pernikahan untukku. "Val, lo kapan nih?" tanya Tito sambil tertawa, menggodaku.
Aku tertawa, menatap mereka berdua. "Nggak tau deh, aku fokus kerja dulu aja."
Kana menepuk pundakku dengan lembut. "Yang penting lo bahagia, Val. Dan kita selalu ada buat lo."
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Aku juga bahagia liat kalian berdua kayak gini."
Saat kami sedang berbicara lagu Dancing Queen milik Abba diputar lalu pemandu acara meminta Kana dan Tito untuk ke lantai dansa menari bersama para undangan.
Kana dan Tito mencoba mengajakku kedepan tapi aku menolak beralasan ingin menghabiskan kueku terlebih dahulu, Kana, Tito dan tamu undangan menari dengan energik, disisi lain seseorang menyapaku dengan suara yang sangat familiar.
Aku hampir tersedak kue ketika mendengar suara yang sangat familiar itu. Ketika aku menoleh, di sanalah dia—Pak Bront, berdiri dengan senyuman khasnya yang hangat, seolah-olah tidak ada yang berubah meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.
"Valerie," sapanya pelan, "lama nggak ketemu. Apa kabar?"
Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi situasi ini. Setelah tiga tahun, tiba-tiba dia muncul di hadapanku di pernikahan sahabatku. Rasanya seperti déjà vu, tapi kali ini aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Pak Bront," jawabku dengan senyum tipis. "Nggak nyangka ketemu di sini."
Dia tertawa kecil, melirik ke arah Kana dan Tito yang sedang menari dengan riang di tengah lantai dansa. "Kana and Tito invited me, didnt they tell you?."
Aku mengangguk, masih sedikit bingung. Rasanya aneh bertemu dengannya setelah semua yang terjadi. Tapi aku mencoba untuk bersikap santai. "Oh gitu, ya seneng sih ngeliat bapak ada di sini. Gimana kabarnya? Masih sibuk sama proyek film ya?"
"Ah ya, seperti-" belum selesai Pak Bront menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba gadis kecil manis menghampirinya.
"Baba!" seru gadis kecil itu memeluk kaki Pak Bront.
Aku tertegun, tak menyangka sama sekali. "Baba?" ulangku dalam hati, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Gadis kecil itu memeluk erat kaki Pak Bront, dan dia langsung membungkuk untuk mengusap kepalanya dengan lembut.
"Oh, Valerie," ujar Pak Bront dengan senyum, "This is my Daughter, Serena."
Aku menatap Serena yang tersenyum malu-malu dari balik kaki ayahnya. "Hi, Serena, i'm Valerie, you so pretty, how old are you?" sapaku pada gadis kecil itu dengan suara lembut, mencoba menyembunyikan keterkejutan.
Serena menatapku sejenak dengan mata besar yang penasaran lalu mencoba memberanikan diri menyapaku "Hi, Valerie, i'm two years old" balas Serena dengan malu-malu, lalu kembali menempel erat pada ayahnya.
Pak Bront tertawa kecil sambil menepuk punggung Serena. "Saya nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Val. saya kira kamu masih di Jerman."
Aku mengangguk sambil menarik napas panjang. "Iya, baru balik buat datang ke pernikahan Tito and Kana. Mereka sahabat saya, nggak mungkin saya nggak datang."
Dia menatapku sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi hanya mengangguk pelan. "I'm so happy can meet you again, Val. Sudah lama banget ya... banyak yang berubah."
"ya.. a lot has changed," jawabku pelan, masih memandang Serena yang tampak lucu dan polos.
Mungkin perasaanku terhadap Pak Bront memang sudah lama berlalu, tapi melihat dia bersama anaknya sekarang... rasanya aneh. Sesuatu yang tak terduga, dan sedikit menggoyahkan.
Tapi aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, disisi lain aku bersyukur dia bahagia dan tidak terjebak di masa lalu sepertiku, ku rasa Pak Jeffrey juga melanjutkan hidupnya sama seperti Pak Bront.
"Val!" tiba-tiba suara Kana memanggilku dari lantai dansa. "Cepetan ke sini! Ntar kelewatan lagu seru loh!"
Aku tersenyum, merasa sekali lagi diselamatkan oleh Kana. "Sorry ya, Pak... Kayaknya saya harus ikut mereka. Enjoy the party, and nice to meet you, Serena."
Aku berbalik dan segera berjalan ke arah Kana dan Tito, mencoba menghilangkan pikiran yang mulai bercampur aduk. Sambil menari bersama teman-temanku, aku berusaha keras untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Namun, sesekali aku masih bisa merasakan tatapan Pak Bront dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mr Right • Jeffrey Dean Morgan • Bront Palarae•
RomanceDi tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, di mana perbedaan budaya dan impian menyala di setiap sudut jalanan, terbentang kisah cinta yang tak terduga. Valerie Guntara, pekerja kantoran berusia 25 tahun di perusahaan Jeffrey. Hari-harinya diwarnai oleh i...