Wedding Day 1.3

104 12 2
                                    

"Galih?"

"Mbak Valerie... wah Mbak Valerie apa kabar?" ujar dengan semangat,  Galih adalah OB di kantor lamaku.

Aku tersenyum lebar, merasa senang bertemu lagi dengan sosok yang selalu ceria di kantor dulu. "Wah, baik, Galih! kamu gimana? Masih jualan risol, nggak?"

Dia mengangguk dengan antusias, jelas masih bangga dengan usaha kecilnya. "Iya, dong! Sekarang malah lebih serius. saya udah buka kedai kecil di dekat rumah. Alhamdulillah, makin banyak yang suka sama risol buatan saya."

Aku merasa kagum dengan perkembangan hidupnya. "Wah, keren banget, Galih! Gimana bisa kepikiran buat jualan risol terus-terusan?"

Galih tertawa kecil sambil duduk di kursi kosong di sebelahku. "Awalnya iseng aja. jualan di kantor, terus lama kelamaan dari temen mbak Kana ada yang order, terus banyak yang pesen mbak, Eh, ternyata malah laku keras. Dari situ saya mutusin buat seriusin usaha ini."

Aku tersenyum, merasa hangat mendengar kisah suksesnya. "Kamu bener-bener hebat, Lih. Saya seneng banget kamu bisa sukses sama apa yang kamu suka."

Galih mengangguk sambil meneguk minumannya. "Hidup emang kadang aneh, ya, Mbak... Saya nggak nyangka dari office boy bisa jadi kayak sekarang. Tapi saya bersyukur banget, semua ini nggak mungkin terjadi kalau saya nggak di support teman-teman di kantor bahkan Mister Morgan bantuin modal, waktu beliau tau saya resign karna mau buka usaha Risol."

Aku terdiam sejenak, mendengar nama Pak Jeffrey di sebutnya. 

"Mbak...?" panggil Galih padaku yang tiba-tiba terdiam. 

"Ah... iya, oh ya? iya sih hidup bisa berubah drastis dalam waktu singkat, bisa juga ni Risol kamu kita jual di Jerman." jawabku.

Galih tersenyum lebar mendengar jawabanku. "Wah, serius nih mbak? Kalau gitu, risol Saya bisa go international nih! Jadi brand global!" candanya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa. "Iya, siapa tahu kan, nanti ada 'Risol Galih' di Jerman. Saya bisa bantu promosiin di sana. Tapi beneran, kehidupan di Jerman seru banget. saya belajar banyak hal baru, walau kadang kangen suasana di sini."

Galih menatapku dengan rasa penasaran. "Kayaknya mbak enjoy banget di sana ya? Tapi kok sekarang balik lagi ke sini?"

Aku mengangguk, lalu menjelaskan dengan singkat. "Saya balik buat dateng ke pernikahan Kana sama Tito, terus mungkin bakal stay di Jakarta dulu sebentar. Lagipula, saya rasa udah waktunya saya nyoba sesuatu yang baru lagi. Siapa tahu ada jalan lain yang bisa saya ambil di sini."

Galih mendengarkan dengan antusias, sambil tersenyum lebar. "Wah, siapa tahu, nanti saya buka cabang di Jerman dan mbak yang jadi CEO-nya." lalu mengedipkan mata.

Aku tertawa mendengar candanya, merasa betapa menyenangkan bisa mengobrol dengan orang yang masih sama hangatnya seperti dulu. "CEO risol, kedengarannya keren juga ya. Gimana kalau kita bikin konsep franchise? Risol khas Indonesia di seluruh Eropa?"

"Deal! mbak nanti bikin rencana bisnisnya, dan kita jalankan bareng," katanya sambil tertawa keras.

Obrolan kami terus mengalir dengan ringan, dan di tengah candaan itu, aku merasa sejenak bisa melupakan segala kerumitan hidupku yang lalu. Galih berhasil membuatku tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa benar-benar bebas dari pikiran berat.

"Kayaknya saya permisi dulu ya mbak" ujar Galih tiba-tiba ketika memandang sehabis melihat seseorang yang berjalan dari belakangku.

Aku terdiam sejenak, mematung ketika aroma familiar melewati hidungku dan mendekat. Aku berbalik pria tinggi dengan senyum khasnya berdiri di hadapanku. Suara berat yang begitu kukenal terdengar di telingaku, "Long time no see, young lady."

Aku menoleh dengan cepat, dan di sana, berdiri Pak Jeffrey, dengan sikap tenangnya yang selalu berhasil membuat suasana terasa berbeda. 

"Pak Jeffrey?"

Dia tersenyum tipis, tampak tenang seperti biasanya. "Hai, Valerie," sapanya sambil duduk di kursi di sebelahku. Suaranya tetap tenang, tapi kehadirannya langsung mengubah suasana hatiku.

Aku mengerjapkan mata, bingung harus berkata apa. "Bapak... kok bisa di sini?" tanyaku, mencoba terdengar santai meskipun jantungku berdebar kencang.

"Well, Kana dan Tito undang saya" jawabnya dengan nada santai. "Dan kayaknya saya sudah lama nggak ke acara-acara seperti ini."

Aku hanya mengangguk pelan, mencoba menyusun pikiranku. Pak Jeffrey, di sini, di hadapanku, setelah tiga tahun aku mencoba menjauh dan melupakan semuanya.

Kami terdiam sejenak, sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tahu dia mengerti ada banyak hal yang tak terucapkan di antara kami. Dia masih Pak Jeffrey yang sama, dengan senyum menawannya dan tatapan mata yang dalam.

"So, gimana kabar kamu di Jerman?" tanya Pak Jeffrey tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku tersenyum kaku. "Baik kok. Saya kerja di perusahaan tante saya, and ya... menjalani hidup. Bapak sendiri gimana?"

"Sama aja. Sibuk dengan kerjaan, tapi selain itu nggak banyak yang berubah."

Sikapnya yang tenang membuatku sedikit lebih rileks, tapi tetap saja, aku merasa canggung. tiga tahun sudah berlalu, dan kini dia duduk di sini seolah-olah waktu tak pernah berlalu.

"Saya dengar bapak beberapa kali ke Jerman," tanyaku, dengan suaranya pelan, sambil menundukkan kepala, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tito dan Kana memang memberitahuku soal kunjungannya, tapi aku selalu menghindari kemungkinan bertemu dengannya.

"T-tapi... Saya nggak pernah sengaja nyari tahu." tambahku kaku.

Pak Jeffrey mengangguk, seolah-olah mengerti. "Ya, beberapa kali untuk beberapa urusan and make sure something. Dan juga walaupun saya tau saya bisa nemuin kamu tapi saya nggak mau ganggu kamu. Tapi... Saya nggak bisa bohong, Val. Ada yang selalu bikin saya kepikiran soal kamu."

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku ingin bertanya lebih lanjut, tapi bagian lain takut akan apa yang mungkin dia katakan.

Pak Jeffrey menatapku dalam-dalam. "Saya nggak datang ke sini buat bikin kamu bingung atau nyakitin kamu lagi, Val. Saya cuma mau... kita punya kesempatan buat bicara. Karena tiga tahun itu waktu yang panjang, dan aku rasa ada yang masih belum selesai di antara kita."

Aku menelan ludah, merasakan semua emosi lama perlahan muncul kembali. Perasaan yang sudah lama aku tekan tiba-tiba muncul lagi, meski aku tidak mau mengakuinya.

Namun, di saat yang sama, aku tahu ini adalah momen di mana aku harus memilih. Membiarkan semua perasaan itu kembali menguasai hidupku, atau akhirnya melanjutkan hidupku seperti yang sudah aku coba lakukan selama ini.

Pak Jeffrey memandangi wajahku. dia tersenyum lembut, seolah memahami kebingunganku. "And its Alright, Valerie. I just want you to know, whatever happend, Saya selalu ada kalau kamu butuh bicara. Saya nggak akan paksa kamu buat ambil keputusan sekarang."

Kami kembali terdiam, tapi kali ini keheningan itu terasa lebih ringan. Aku tahu perasaanku masih belum jelas, tapi setidaknya, ada kelegaan dalam hatiku bahwa aku sudah mendengar apa yang harus dia katakan.

Malam itu, ketika Pak Jeffrey pergi meninggalkan meja, aku merasa seolah-olah beban yang aku bawa selama tiga tahun terakhir mulai sedikit terangkat.

Rasanya lega akhirnya mendengar dari mulutnya sendiri, meskipun perasaanku masih berkecamuk. Aku tahu ini bukan akhir dari kebingungan yang aku rasakan, tapi setidaknya satu bagian dari puzzle itu sudah terurai.

Pesta pernikahan Kana dan Tito sudah selesai, dan setelah hari yang panjang penuh kegembiraan dan tawa, mereka kembali ke kamar mereka untuk menikmati malam pertama sebagai pasangan suami istri.

Aku ikut pulang ke kamar tamu yang mereka siapkan untukku. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku berbaring di kasur, mencoba menenangkan pikiranku yang masih terisi oleh semua hal yang terjadi hari ini.

Finding Mr Right • Jeffrey Dean Morgan •  Bront Palarae•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang