Wedding Day 1.2

82 7 2
                                    

Aku menari bersama Kana dan Tito di lantai dansa, mengikuti irama lagu "Dancing Queen" dari ABBA yang membawa nuansa nostalgia. Keceriaan memenuhi ruangan, semua orang larut dalam suasana gembira pernikahan. Aku tertawa bersama mereka, mencoba melupakan pertemuanku dengan Pak Bront beberapa menit yang lalu. Tapi, sejujurnya, bayangan Serena, anaknya, terus membayangi pikiranku.

Kana, yang begitu energik, memegang tanganku dan memutar tubuhku dengan gaya dramatis, membuat kami tertawa bersama. "Gue seneng banget lo bisa datang, Val!" serunya dengan semangat, matanya bersinar-sinar.

"Yaaa iyalah, yakali aku absen di hari penting sahabat-sahabatku?" balasku sambil tertawa. Kami terus berputar di lantai dansa, meski aku mencoba fokus pada momen ini, pikiranku terus kembali ke pertemuan tadi.

Di antara dentuman musik dan canda tawa tamu, mataku sempat menangkap sekilas sosok Pak Bront yang masih berdiri di tepi ruangan, sekarang tampak sibuk mengobrol dengan beberapa tamu lain sambil menggendong Serena. Ada sesuatu yang damai dalam caranya menggandeng gadis kecil itu. Sungguh pemandangan yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya.

Tito, yang tampaknya melihat aku melirik ke arah Pak Bront, tiba-tiba berbisik di telingaku, "Lo nggak papa kan, Val?"

Aku mengangguk cepat, berusaha menunjukkan senyum yang lebar. "Rileks To. I'm fine. Lagian, kan aku di sini buat ngerayain kalian."

Dia menatapku dengan tatapan penuh pengertian tapi tak menekan lebih jauh. Kami melanjutkan menari hingga lagu berakhir, dan semua orang tepuk tangan.

Kana dan Tito menarikku lagi, kali ini menuju meja mereka di sudut ruangan yang dipenuhi makanan. Aku mengambil segelas jus dan duduk, mencoba menikmati jeda sejenak setelah menari.

Tito duduk di sebelahku, dan Kana masih asyik berkeliling menyapa tamu-tamu lainnya. Sambil menghirup jusku, aku menatap Tito. "Gimana rasanya sekarang? kamu bakalan kejebak ama Kana seumur idup" ujarku sambil tertawa

Dia tertawa kecil. "Lucu sih, nggak beda jauh sama sebelum menikah, tapi... ada sesuatu yang lebih solid aja sekarang. Gimana ya? Kayak semua lebih jelas tujuannya."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Lucu sih, Kita sahabatan udah lama, terus akhirnya kalian beruda sampai di titik ini. Aku bener-bener seneng buat kalian."

Tito menepuk bahuku dengan hangat. "Thanks, Val. Tapi ngomong-ngomong, Bener nggak ada yang lo kangenin dari Jakarta selain gue sama Kana?"

Aku tertawa mendengarnya. "Yah, tentu aja banyak yang aku kangenin. Makanan, suasana... tapi soal perasaan-perasaan lama? kayaknya semuanya udah selesai."

Tito menatapku lebih dalam, seakan ingin memastikan aku benar-benar jujur. "Beneran, Val? Soalnya... tadi gue liat lo ngobrol sama Pak Bront."

Aku tersentak sedikit mendengar namanya disebut lagi, tapi aku berusaha untuk tetap tenang. "Ya, tadi ketemu sebentar. Aku nggak nyangka dia diundang juga. Tapi udah lama kan, semuanya udah lewat."

"Yah sebenernya aku gak nyangka aja dia udah berkeluarga" tambahku.

Tito mengangguk pelan, tapi aku bisa melihat ada keraguan di matanya. "After lo ke Jerman kita ga pernah denger kabar beliau, tau-tau dapet kabar kalau beliau udah married sama fansnya... Oh ya fyi, after main di film Joko Anwar beliau jadi terkenal disini"

Aku tersenyum seakan tak percaya. "Oh ya? Wow... Seenggaknya beliau udah move on sih and i'm glad he's happy now" dan Tito mengangguk.

Lalu kami melanjutkan obrolan santai, mencoba menikmati momen. Namun, dalam hatiku, masih ada sedikit getaran aneh setelah pertemuan dengan Pak Bront.

Bertahun-tahun aku mencoba melupakan segalanya, hidup jauh di Jerman, memulai hubungan baru dengan Viktor yang akhirnya gagal.

Tapi melihat Pak Bront lagi-dan kini dia punya anak-membuatku sadar bahwa ada bagian dari diriku yang masih terhubung dengan masa lalu itu, walaupun aku mencoba untuk tidak mengakuinya.

Finding Mr Right • Jeffrey Dean Morgan •  Bront Palarae•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang