𝓐 𝓓𝓲𝓯𝓯𝓮𝓻𝓮𝓷𝓽 '𝓡'
hola!
tidak disangka sudah setahun lebih menyelesaikan book story ini.dan aku kembali untuk menulis epilog yang akan menjadi penutup dari kisah A Different 'R'
aku baru ingat, kalau aku buat prolog seharusnya juga buat epilog.
jadi, ini untuk kalian yang masih menyimpan cerita ini di library.
HAPPY READING
-
-
𝓐 𝓓𝓲𝓯𝓯𝓮𝓻𝓮𝓷𝓽 '𝓡'
-
-3 tahun kemudian.
Waktu terus berjalan.. dari hari ke hari, pun bulan ke bulan, hingga kini telah 37 bulan terlewati setelah kejadian naas yang tak terlupakan. Tepatnya 3 tahun lebih 1 bulan mereka ditinggalkan.
Setelah kematian Retania, semuanya menjadi berbeda. Banyak hal yang telah terjadi pun berhasil dilalui. Namun lantaskah kalian percaya mereka benar-benar berhasil melalui hingga kini menemui satu titik bernama ikhlas?
Hingga kini, rasanya langit masih mendung
Hingga kini, rasanya oksigen semakin menipis
dan hingga kini, rasanya masih sama. Sakit tak terbantah, pun cinta tak memudar.
Jeyen, Ednan, Heron dan Reygen telah sampai di bangku perkuliahan sekarang. Masih menjadi mereka yang tampan nan pintar, masih menjadi mereka yang ambisius.
Banyak manusia mengatakan bahwa hidup terus berjalan. Diperdengarkan untuk mereka bahwa tak seharusnya terus larut dalam kesedihan. Mereka kata, hanya perlu merelakan pun selalu mendoakan untuk sang gadis yang sudah lama tak digenggam.
Banyak perlawanan dari perkataan itu. Semuanya tidak semudah berbicara belaka. Namun akan sedikit mudah jika mereka ingin. Tapi nyatanya, tidak pernah ada keinginan untuk merelakan kepergian Retania.
Makam sang gadis yang tak pernah didatangi, pun nisan tertuliskan nama sang gadis yang tak pernah dilihat sama sekali. Pantas saja mereka berhasil melalui hari hingga 37 bulan terlewati. Karena mereka tidak pernah menganggap Retania tiada, dan menganggap perkataan manusia-manusia itu hanya omong kosong belaka.
Langit terlihat mendung sore ini. Daun-daun melambai tertiup angin yang berhembus kencang—menandakan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah megah berwarnakan putih. Para pelayan lantas menyambut sang tuan yang kini memasuki rumah dengan langkah tegasnya. Memperdengarkan ketukan sepatu dari setiap langkahnya.
"Bagaimana?" Suaranya yang serak dan dalam membuat pelayan yang mengikuti tak pernah tak takut mendengarnya.
"No-Nona baik tuan. Nona makan dengan baik, dan sudah kami mandikan."
"Dimana dia sekarang?"
"Seperti biasa, selalu menunggu tuan di kamar."
Hanya sebuah kekehan yang Ia keluarkan. Tangannya menyugar rambut hitam legamnya, lantas bergerak memberi isyarat untuk meminta pelayan itu pergi.
"Gadisku yang manis."
Kakinya segera melangkah ke sebuah kamar di lantai atas. Lantas dengan suka cita Ia membuka pintu bercat putih tulang setelah menerbitkan senyum yang kian lebar—menampilkan lesung pipit yang menjadi kesukaan gadisnya di dalam sana.
Jeyen— dapat dilihatnya punggung yang tertutupi rambut pirang panjang hingga pinggang. Sosoknya duduk menghadap jendala luar, seakan dengan tenang menunggu kepulangan dirinya.
Segera pula Jeyen mendekatinya, dan segera pula Jeyen memeluknya.
"Aku merindukanmu."
"Hari ini sangat melelahkan. Ada banyak tugas kampus yang harus aku selesaikan." Kini Jeyen duduk di sampingnya, membelai rambut yang terasa halus di tangannya tersebut.
"Tapi setelah pulang dan melihatmu, rasanya energiku kembali seperti sedia kala saat aku bangun pagi dan melihat kamu sudah membuka mata di sampingku." Tangannya masih terus mengusap rambut, pun tangannya yang lain turut membelai wajah sang gadis dengan lembut.
"Sayang? Aku sangat mencintaimu, kamu tau itu."
"Jangan pernah meninggalkan aku, mengerti?"
"Lagipula, apa yang menjadi alasan kamu meninggalkan aku kan?"
"Karena Tuhan membawamu lebih dulu?" Dirinya dekap tubuh itu dari samping, menyandarkan kepala di bahu sang gadis.
"Tidak bisa, sayang. Buktinya kamu masih ada di sini, bersamaku."
Angin semakin kuat, rintik hujan-pun mulai berjatuhan.
"Ah, aku melukis dirimu lagi untuk tugas kampus hari ini."
"Padahal dosen meminta untuk melukis dengan jenis surealisme. Tapi aku tetap melukis dirimu, mana mau aku melukis salain dirimu kan, sayang?"
Bahkan petir mulai terdengar, walau hujan tidak deras sekalipun.
"Aku akan menempel lukisannya di kamar kita. Um, tapi dimana lagi? dinding ini sudah penuh dengan lukisan wajahmu."
Diedarkan penglihatan ke seluruh penjuru kamar, melihat setiap dinding putihnya telah tertutup lukisan wajah ayu seorang gadis.
"Mungkin akan aku letakan di pojok sana."
"Ah baiklah, aku akan mandi terlebih dahulu. Setelah itu kita akan makan malam bersama seperti biasanya."
"Aku mencintaimu, Reta." Jeyen berikan kecupan di pelipis sang gadis, lantas beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak lama kemudian, suara isakan wanita mulai terdengar. Begitu pilu dan terdengar ditahan. Seperti seorang yang tak ingin sesiapa mendengar tangisnya.
"Ya Tuhan. Tuan-ku, tuan kasihan sekali Ri."
"Bik sudah, ayo kembali ke dapur. Kalau tuan Jeyen tau kita disini, beliau bisa marah." Bujuk satunya lagi, berusaha membawa tubuh yang lebih tua dari depan pintu kamar.
"Tapi mau sampai kapan? Sa—
—sampai kapan tuan akan terus menganggap, menganggap—"
"Shutt.. sudah bik sudah, percuma saja kita menyadarkan tuan. Beliau sangat mencintai Nona Reta, tuan tidak pernah mau sadar kalau Nona sudah tiada." Begitu pelan suaranya ketika mengucapkan kata terakhir.
"Tuan Jeyen gila Ri! Tuan kita itu sungguh gila! Dia seakan menghidupkan kembali Nona Reta me-melalui —
—bo-boneka itu."
"Dia membuat benda mati itu sangat mirip dengan Nona Reta."
"3 tahun, Ri. Tuan Jeyen sungguh gila."
-
T A M A T
-untuk selanjutnya, imajinasi aku serahkan ke kalian
Jeyen paling gila! Heron, Ednan dan Reygen sudah pasti juga gila
BYE GUYS..
THANK U (✿ ♡‿♡)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Different 'R'
Teen FictionDari banyaknya waktu yang disinggahi, tidak hatinya yang bisa ditempati. Ini tentang mereka. Empat siswa sebuah sekolah di Jakarta. Menyumbang banyak penghargaan, ditambah anugerah wajah tampan pemberian Tuhan, membuat mereka dikenal dan digemari b...