20. Sesuatu Yang Berharga

183 26 2
                                    

Bagian yang paling Renjun benci dari sebuah takdir adalah perpisahan. Dirinya yang terbiasa menyatukan dua hati, membawa dua insan untuk hidup bersama dan saling melengkapi, tentu tidak akan pernah terbiasa dengan yang namanya perpisahan. Baik itu yang terjadi pada orang lain maupun dirinya sendiri.

Sudah setengah jam lelaki itu berdiri termangu. Menatap buku takdir nya seolah ada jutaan kata yang harus dia baca satu persatu. Nyatanya hanya ada sepenggal kalimat disana.

Renjun membacanya berulang kali, lalu melamun selama beberapa saat. Ini bukan tentang takdir orang lain, karena yang tertulis disana adalah akhir dari masa kerjanya sebagai dewa cupid.

Terhitung sisa 100 hari lagi masa tugasnya di dunia. Harusnya Renjun merasa senang karena pekerjaannya hampir usai. Tapi seseorang membuat ini terasa berat untuk Renjun.

Alasan kenapa Renjun tidak mau terlalu akrab dengan seseorang ataupun memulai sebuah hubungan dengan orang lain adalah karena dia tidak bisa menerima sakitnya perpisahan.

Renjun menghela nafasnya sekali lagi sebelum dia meletakkan kembali bukunya ke dalam rak.

Baiklah...
Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menjalani semuanya. Entah itu takdir baik ataupun takdir buruk. Seperti itulah cara para manusia hidup disini.

Saat berbalik Renjun tidak sengaja bertemu Jeno. Lelaki itu bergerak dengan senyap seperti hembusan angin.

Renjun menatapnya, tidak berniat menyapa, hanya saling bertukar pandangan tapi secara tidak biasa Jeno mengajaknya bicara.

"Kamu ga pulang kemarin? Aku lihat Miyuki menunggumu di luar gedung semalam dan kemarin malam juga."

Renjun berhenti di ambang pintu. Dia memutar kepalanya 30 derajat dan melirik Jeno dari ekor matanya.

"Dia baik-baik saja kan?"

Jeno mengerutkan kening dengan kedua tangan bersedekap.

"Dia baik, cuma kelihatan sedih. " Lelaki itu memberi jeda, menatap mimik di wajah Renjun sebelum melanjutkan.

"... Kalian bertengkar?"

"Enggak."

"Terus?"

Astaga, tidak biasanya Lee Jeno sang dewa kematian merasa se-tertarik ini dengan urusan orang lain. Renjun sampai keheranan.

"Aku cuma ngasih jarak, biar aku ga jatuh terlalu dalam."

"Aaahh.." Jeno mengangguk-angguk. Dia mengerti sekarang.

"Mempersiapkan diri untuk sebuah perpisahan mungkin terdengar bagus, tapi pasti ada penyesalah setelahnya. Tapi memanfaatkan sisa waktu bersama selagi bisa itu akan lebih baik. " Jeno menepuk bahu Renjun. Lelaki itu kembali bicara.

"Sebagai seorang dewa yang bertugas memisahkan manusia dengan dunia aku tau semuanya. "

 "

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Legendary Virgin  | Huang Renjun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang