Mobil sedan Carlisle melaju membelah kota Forks yang terus diguyur hujan. Tidak banyak yang berkendara jadi jalanan sangat lenggang meski itu adalah akhir pekan.
Sesekali Carlisle akan bertanya hal acak untuk memecah kesunyian dan Elise menjawabnya dengan antusias. Carlisle sering kali tersenyum setiap kali mendengar jawaban Elise, itu menyenangkan menurutnya.
Carlise yang memperhatikan Elise melepas jaketnya berniat mengecilkan pemanas begitupun dengan Elise yang merasa cukup hangat dengan suhu di dalam mobil sehingga tangan mereka bersentuhan.
Elise menatap Carlisle bingung, tangan pria itu sangat dingin seperti kau baru saja menggenggam sebongkah salju. Carlisle sangat gugup melihat tatapan bingung Elise. Dia tahu Elise adalah wanita pintar jadi akan sulit membuat alasan. Tapi dia mencoba yang terbaik menyusun jawaban yang tidak akan membuatnya curiga.
Elise kembali memandang jalanan di sisinya, memikirkan sesuatu ia tidak lagi memperhatikan Carlise. Sedangkan Carlisle yang memperhatikan diamnya Elise merasa sangat buruk. Carlisle ingin mengatakan sesuatu namun dia bingung harus mengatakan apa. Dia tidak mungkin tiba-tiba langsung memberi alasan itu akan membuatnya terlihat mencari-cari alasan. Carlisle benar-benar takut jika setelahnya Elise akan menjauhinya. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan Elise tidak juga mengatakan sesuatu.
Carlisle yang melihat air menggenang di jalan membantu agar sepatu Elise tidak basah jadi dia mengangkat tubuh Elise dengan satu tangannya sedangkan tangan lainnya memegang payung. Elise yang merasa tubuhnya melayang memeluk pinggang Carlisle erat.
Saat mereka tiba di halaman restoran Elise merasa kecewa karena tidak bisa memeluk Carlisle lebih lama. Rasanya dia ingin menghambat waktu agar tidak berjalan cepat. Harus dia akui tubuh keras Carlisle membuatnya sedikit berimajinasi tentang otot-otot di perutnya.
Seorang pelayan datang memberi mereka buku menu, pada awalnya dia meminta Elise untuk memilih namun Elise justru memintanya untuk memesan terlebih dahulu. Jadi Carlisle memesan Rare Meat dan kentang goreng Elise yang bingung memesan apa pada akhirnya mengikuti Carlisle dan terus mengikutinya memilih anggur merah.
Restoran yang mereka datangi tidak begitu mewah namun pemilihan warna dan lampu membuatnya seakan itu restoran kelas atas. Elise perlu memberi pujian pada selera pemilik restoran, dia bisa membuat suasana tempat makan kota kecil ini tidak kalah dengan kota besar di Amerika.
"Bagaimana keadaanmu? Jauh lebih baik?" Carlisle mencoba yang terbaik untuk membuat suasana mereka hidup kembali namun tanggapan Elise yang hanya menganggukkan kepalanya membuat Carlisle menelan pil pahit. Apalagi Elise sama sekali tidak memandangnya gadis itu sibuk melihat suasana restoran.
Tidak banyak pengunjung yang datang. Namun kebanyakan dari mereka adalah pasangan, suasananya memang cocok untuk tempat kencan. Ada mawar di atas meja juga sebuah lilin aroma terapi yang menambah keromantisan.
"Apa aku membuatmu marah?" tanya Carlisle dengan suara tercekat.
Saat itulah Elise sadar bahwa Carlisle memandangnya dengan tatapan sedih. Elise yang panik spontan menyentuh pipi Carlisle, hal yang sering ia lakukan tiap kali Bella sedih.
Itu dingin sangat dingin, pikir Elise. Karena suhu tubuh Carlisle mengejutkan Elise dia akhirnya bisa berpikir jernih, buru-buru menarik tangannya kembali. Dia yang takut telah menyinggung Carlisle karena telah menyentuhnya sembarangan menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja.
"Aku tidak marah, sama sekali tidak marah," jelas Elise dengan senyum canggungnya.
Namun kalimat Carlisle selanjutnya membuat Elise tercengang, "Kau mengabaikanku,"
Elise mengeluarkan kedua tangannya yang sebelumnya dia sembunyikan di bawah meja, menunjuk dirinya sendiri, "Hah? Aku?" Dia sama sekali tidak merasa mengabaikan Carlisle. Dia meresponnya dengan sangat baik jadi dia bingung saat dituduh seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWILIGHT SAGA X OC
Fanfiction[Carlisle x OC] Sejak kehidupan pertamanya sekalipun Elise tidak pernah takut akan kematian namun saat sebuah van melaju kencang ke arahnya saat itulah untuk pertama kalinya dia takut tidak bisa hidup di hari esok. Membayangkan bagaimana terlukanya...