Sudah pukul sebelas malam namun Carlisle belum juga datang. Elise memeriksa ponselnya, takut Carlisle mengabarinya sesuatu. Dan benar, pria itu mengiriminya pesan singkat, dia baru akan datang setelah tengah malam nanti. Selesai membalas pesan Carlisle, Elise berencana untuk langsung tidur namun layar ponselnya berkedip merah, yang artinya ada masalah penting yang perlu Elise tangani sesegera mungkin.
Menghidupkan laptopnya, layar windows seketika teralihkan dengan tampilan Linux. Jendela interface muncul berkedip, prosedur pemeriksaan internal berdatangan satu persatu di layarnya.
Dari lingkaran kecil yang biasa digunakan sebagai kamera, sinar hijau langsung memindai retina Elise. Hanya dalam hitungan detik sinar itu memindai dari atas ke bawah sebelum akhirnya menghilang. Pencocokan data berhasil dilakukan, sistem secara otomatis beralih ke pemeriksaan berikutnya.
Layar berubah, suara mekanik komputer meminta Elise untuk memasukkan codepass. Dengan lihai jari jemarinya memasukkan enam puluh lima bit angka tanpa ragu. Tak lama kemudian kode akses diterima, layar berubah memasuki sistem keamanan terakhir, di layar tampak robot AI mengucapkan sederet kalimat yang tidak relevan namun perlu ditanggapi oleh Elise, itu adalah mesin pembaca suara otomatis.
Ketika akhirnya robot AI itu bertanya nama lengkap Elise, di depan microphone parabola yang menyatu dengan headset-nya, Elise berkata, "Olivia Williams Russel."
Sistem dengan cepat mengonfirmasi tingkat konsentrasi frekuensi suara Elise dan barulah akses terbuka sepenuhnya. Sederet kata langsung berbaris rapih menyampaikan informasi.
Headset tanpa kabel di telinganya berderak, Elise menekannya. Lalu suara elektronik yang telah diubah masuk ke telinganya, "Aku mendapatkan suratnya," kata suara sengau dari seberang. Tak lama setelahnya surat elektronik terbuka.
"Masih terenkripsi?" tanya Elise begitu melihat kumpulan angka dan huruf yang mewakili kata-kata rahasia di layar laptopnya. Elise mendelik, dengan heran dia bertanya, "Kau kan seorang kriptografer jenius, kenapa masih belum bisa memecahkannya?"
Seorang kriptografer bertugas menguraikan teks simbol berisi sandi dari sebuah pesan terenkripsi untuk mendapatkan teks asli atau teks-jelas. Mengingat seberapa jeniusnya orang diseberang, Elise menjadi gelisah. Meski di masa depan orang itu akan menjadi satu-satunya pemrogramer yang berhasil menciptakan senjata anti-intelijen terhebat di dunia, namun itu masih belasan tahun lagi.
Ada suara decakan dari seberang, "Ini kasus berbeda!" keluhnya tak terima, "Meskipun ini tidak lebih hanya algoritma publik generik tapi algoritma ini tidak bisa dipecahkan. Aku bahkan sudah menggunakan mesin pemecah kode terbaru kita, tapi masih belum juga bisa diuraikan."
Elise diam sejenak, mengetukkan jari jarinya ke atas meja, memikirkan apa yang perlu mereka lakukan. "Sudah berapa lama sejak surat itu berhasil kita dapatkan?"
"Lima jam," ucap suara di seberang yang hampir berbisik.
Itu terlalu lama. Bisa jadi mereka sedang bertindak malam ini atau mungkin dia sudah melewatkannya. Dengan gusar Elise berkata, "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, entah hal gila apa yang telah mereka rencanakan."
"Aku tahu!"
"Gunakan Transltr milik NSA," final Elise.
Elise tidak tahu saja jika perkataannya itu hampir membuat lawan bicaranya melompat dari kursi. Bagaimana tidak? NSA adalah badan intelijen paling rahasia di seluruh dunia selama hampir lima puluh tahun, keberadaan mereka jauh lebih rahasia daripada keberadaan CIA. Jika mereka sebelumnya berhasil keluar masuk jaringan CIA atau MI6, itu tidak berarti mereka juga bisa masuk ke jaringan NSA sesuka hati. Protokol keamanan mereka jauh lebih sulit ditembus daripada yang dibayangkan. Karena memang itu adalah wilayah kekuasaan mereka, mengingat tugas inti mereka adalah melindungi jaringan komunikasi pemerintah Amerika Serikat. Jadi sudah bisa dibayangkan akan sesulit apa menembus firewall mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWILIGHT SAGA X OC
Fanfiction[Carlisle x OC] Sejak kehidupan pertamanya sekalipun Elise tidak pernah takut akan kematian namun saat sebuah van melaju kencang ke arahnya saat itulah untuk pertama kalinya dia takut tidak bisa hidup di hari esok. Membayangkan bagaimana terlukanya...