EPISODE 32 : HUKUMAN

242 41 8
                                    

Dari kaca jendela toko, Elise bisa melihat semburat jingga di langit. Sinar matahari masih menguning, walau hari sudah mulai gelap. Elise melirik jam di pergelangan tangannya, jika diperhatikan dengan seksama ada sinar putih yang berkedip di jarum jamnya. Orang luar akan berpikir itu hanya kilauan dari glitter. Namun sebenarnya itu adalah sinyal rahasia, yang hanya diketahui oleh dirinya dan para agennya.

Hari ini dia belum memeriksa berita manca negara, juga belum membuka laptopnya. Meski begitu dia tahu belum ada perkembangan dari misi yang dia berikan kepada agennya, bahkan dari Sarah sekalipun.

Membunuh Lazar di bawah hidung Master Assassin langsung sepertinya bukan hal yang mudah. Apalagi tahun-tahun ini organisasi telah memasuki masa kejayaan. Jadi sudah bisa ditebak akan setebal apa dinding pertahanan mereka.

Suara gerutuan Bella tiba-tiba memecah keheningan mereka. Elise mengangkat wajahnya untuk menemukan kerutan di kening Bella.

"Apa kau pikir kalau aku menabraknya dengan trukku, dia akan berhenti merasa bersalah mengenai kejadian itu? Apakah dia akan berhenti membayar semuanya dan menganggapnya impas?"

'Ah, masalah Tyler.'

"Aku akan mengurusnya. Jangan khawatir, Bells," jawab Elise yakin. Tangan kanannya mengusap kening Bella, menghilangkan kerutannya.

Untuk pertama kalinya, Bella sama sekali tidak keberatan dengan apapun yang akan dilakukan Elise pada Tyler padahal dia tidak menyukai kekerasan sebelumnya. Dia bahkan berharap Elise setidaknya menghancurkan mobil baru Tyler hingga tak berbentuk.

Proses memilih pakaian ternyata hanya berlangsung sebentar. Itu mengejutkan Elise dan Bella bahkan prosesnya lebih mudah daripada saat bersama ibu mereka. Mungkin karena pilihan di sini terbatas.

Saat mereka akan beralih ke bagian sepatu dan aksesori. Elise menarik dirinya, dia ingin pergi ke toko Graciella. Terakhir kali mereka berkomunikasi, wanita itu bilang punya koleksi terbaru. Jadi Elise pergi untuk melihatnya. Berpikir dia mungkin akan lama, mereka membuat janji temu di restoran Italia yang letaknya di pinggir jalan. Tidak jauh dari tempat Graciella.

Bella tadinya ingin ikut namun saat tahu tujuan Elise, dia langsung mengurungkan niatnya. Berpikir akan lebih tersiksa memilih pakain untuk Carlisle daripada menemani Jessica dan Angela berbelanja.

Bunyi lonceng terdengar begitu Elise membuka pintu. Graciella yang telah dihubungi sebelumnya sudah menunggu di depan meja konter. Tidak ada pelukan, Graciella langsung menyeret Elise ke ruang VVIP. Dia sudah tidak sabar memamerkan karya terbaiknya.

Seperti yang Graciella katakan. Dia sudah membuat banyak koleksi pakaian pria dari berbagai musim. Namun yang tidak Elise sangka, semua pakaian itu sangat cocok untuk Carlisle.

"Sepertinya Carlisle sangat menginspirasimu, Grace." Elise tertawa melihat semua pakaiannya telah disesuaikan dengan tubuh Carlisle.

Graciella sama sekali tidak malu mengungkapkannya, dia mengangguk mengakuinya. "Dr. Cullen memberiku banyak ide-ide menakjubkan. Tanganku sampai tak bisa berhenti setelah memegang pensil." Mata cemerlang Graciella menatap Elise penuh binar. Dia kemudian menatap kedua telapak tangannya. "Bahkan sekarang aku masih ingin menggambarnya. Jadi kau mengerti maksudku kan?"

Tawa Elise semakin lebar hingga matanya menyipit. Dia tahu maksud wanita itu. Katanya, 'Cepatlah memilih lalu pulang!'

"Baiklah, aku tentunya tidak boleh menyianyiakan kerja kerasmu bukan?" tanya Elise dengan mengedipkan sebelah matanya. "Kirim semuanya ke alamatku."

Graciella yang sebelumnya sedang memikirkan desain seperti apalagi yang harus dia ciptakan mengerjap bingung. Lalu napasnya seketika terhenti, "Es-tu sûr?"

Dia tidak berharap Elise akan membeli semuanya jadi dia berpikir akan menjual sisanya setelah Elise memilih. Belum lama ini Elise telah membeli seluruh koleksinya selama tiga tahun kebelakang dan sekarang dia sudah membelinya lagi.

Sekali lagi tawa Elise menggema membuat Graciella tersihir akan indahnya. "Bien sûr."

"Je vois, tu l'aimes vraiment."

Keluar dari toko Graciella, Elise menatap ke langit lalu ke mobil Mercedes putih yang terparkir di depannya. Matahari masih terlalu tinggi di atas, bagi Carlisle langit masih terlalu terang untuk berkendara. Meski kaca jendelanya gelap, masih ada risiko bersinar saat terpapar cahaya matahari. Dan saat ini Carlisle tengah mengambil risiko itu.

Seperti yang dikhawatirkan, wajah Carlisle berkilau di bawah cahaya matahari. Itu terlihat sangat indah, lebih indah daripada yang ada diingatannya.

Elise terkesiap. Begitu dia menutup pintu, tubuhnya langsung ditarik oleh Carlisle. Dia bahkan tidak diberi waktu untuk berpikir, Carlisle sudah lebih dulu mencium bibirnya. Ciuman Carlisle kali ini penuh tuntutan. Elise bahkan kewalahan mengikuti tempo lidah Carlisle. Itu terlalu cepat. Jika terus seperti ini dia sama sekali tidak bisa menyeimbangi.

Tidak dibutuhkan lima detik sampai kekhawatirannya terbukti. Pasrah tidak bisa mengikuti tempo Carlise yang cepat dia membiarkannya melakukan apapun, memang seharusnya begitu kan.

Awalnya ciuman Carlisle hanya berupa jilatan atau lumatan. Namun lama kelamaan ciumannya didominan oleh gigitan, dia membuat tanda pada setiap jalan yang di laluinya.

Tangan kanan Carlisle yang sebelumnya di tengkuk Elise, kini turun ke bawah. Dengan gerakan sensual dia mengusap paha Elise hingga naik terus ke atas. Dia meremas celah di antara pangkal kedua paha Elise hingga desahan lolos dari bibir gadisnya. Puas dengan suara yang dibuat Elise, tangannya menyelinap masuk ke dalam sana. Itu sudah berair, terasa licin di dalam sana.

Tubuh Elise bergetar begitu dia merasakan tangan dingin Carlisle masuk. Dia meremas rambut Carlisle, tidak kuasa menahan sengatan listrik dari permainan Carlisle. Ketika tubuh Elise tersentak ke atas saat itulah Carlisle sadar telah sepenuhnya dikuasai oleh hasrat gilanya.

Dengan sisa kewarasannya, Carlisle melepaskan pagutan mereka. Dia menggeram marah begitu melihat di mana tangannya berada. Dalam satu kedipan mata Carlisle telah duduk kembali di kursinya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Merutuki segala hal gila yang telah dia lakukan. Dia tidak tahu kenapa dia menjadi begitu bergairah. Padahal sebelumnya dia marah melihat banyak pria menatap Elise dengan lapar. Saat pikiran itu muncul dia menelan ludahnya, sebab dia masih bisa merasakan jarinya yang basah.

Elise tidak mengatakan apapun. Ah, seandainya mereka tidak di luar Elise tidak akan mungkin membiarkan Carlisle berhenti di tengah jalan. Sialan, pikirnya.

Langit sudah lebih gelap saat mata mereka akhirnya bertemu. Carlisle menatap Elise dengan gugup. Seandainya dia masih punya detak jantung mungkin jantungnya sudah bergemuruh.

"Tangan," kata Elise memecah keheningan. Sadar akan tatapan bingung Carlisle dia menjelaskan, "Mana tanganmu yang ingin dihukum."

Dengan ragu Carlise mengulurkan tangan kanannya. Dia menatap Elise dengan perasaan bersalah.

"Aku akan menghukummu. Kau tidak diijinkan atau bahkan dilarang untuk bergerak. Kau tidak boleh mengeluarkan suara ataupun berteriak. Jadi duduk lah baik-baik di kursimu. Paham?"

Carlisle mengangguk. Dia pasrah dengan hukuman apapun yang akan didapatkan. Bahkan jika tangannya harus dipotong sekalipun.

Elise tersenyum penuh kemenangan. Dia tahu Carlisle tidak akan melanggar kesepakatan mereka. Jadi dia bersumpah Carlisle akan menyesali keputusannya kali ini.

Tangan Carlisle ditarik ke tempat Elise. Sebelum memulai Elise menatap jemari Carlisle yang berurat. Detik berikutnya jari tengah Carlisle sudah berada di dalam mulut Elise. Dan seperti sumpah Elise, Carlisle menyesal tidak bertanya terlebih dahulu.

Carlisle mencengkram kuat-kuat sandaran kursinya hingga hancur. Besi-besinya langsung patah tidak bisa menahan kekuatan Carlisle. Tahu usahanya akan sia-sia lagi, Carlisle menarik lengan lainnya untuk menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apapun.

Pikiran Carlisle semakin gila seiring dengan liarnya lidah Elise bergerak. Sebisa mungkin dia menahan tangannya untuk tidak membawa Elise ke atasnya. Sedotan Elise yang kuat membuat pikiran dia kosong. Andai dia bisa menangis, Carlisle mungkin sudah menangis. Hukuman Elise sangat kejam baginya.

TWILIGHT SAGA X OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang