Tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi dan jalanan yang ramai, terdapat sebuah apartemen kecil yang menjadi tempat berlindung bagi Kang Yeosang.
Di usianya yang baru dua puluh tahun, Yeosang menjalani kehidupan yang penuh dengan kesibukan dan kesendirian. Di pagi hari, dia adalah seorang mahasiswa yang rajin dan tekun, dan di sore hari, dia bekerja sebagai barista di sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari kampusnya.
Yeosang selalu memulai harinya dengan rutinitas yang sama.
Pagi itu, dia bangun dengan suara alarm yang membangunkannya dari tidur lelap. Matanya masih berat, tapi dia tahu bahwa dia harus segera bersiap-siap untuk kuliah. Dia merapikan tempat tidurnya, mengenakan pakaian yang sederhana namun rapi, lalu berjalan menuju kampus dengan langkah pasti.
Di kampus, Yeosang dikenal sebagai seorang kutu buku yang selalu tenggelam dalam dunia akademiknya. Di ruang kelas, dia duduk di bangku paling depan, mencatat setiap kata yang diucapkan dosen dengan teliti.
Satu hal yang membuat Yeosang berbeda dari mahasiswa lainnya adalah pekerjaannya di klinik kampus. Dia bekerja paruh waktu di sana, membantu merawat mahasiswa yang membutuhkan pertolongan medis. Pekerjaan itu memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang, meskipun pada kenyataannya, dia sering kali merasa canggung untuk memulai percakapan.
Suatu hari, saat sedang membersihkan perban di ruang perawatan, seorang mahasiswa datang dengan wajah cemas. "Permisi, apakah kamu bisa membantuku? Temanku terluka dan butuh bantuan," kata mahasiswa itu dengan suara terburu-buru.
Yeosang segera bangkit dari kursinya. "Tentu, bawa dia masuk," jawabnya dengan nada lembut tapi tegas. Dia selalu berusaha untuk terlihat tenang meskipun hatinya sering kali berdebar-debar saat harus berinteraksi dengan orang lain.
Teman dari mahasiswa itu dibawa masuk, dengan luka di lututnya akibat jatuh dari sepeda. Yeosang dengan cekatan membersihkan luka itu dan membalutnya dengan perban bersih. "Jangan khawatir, ini hanya luka ringan. Pastikan untuk menjaga kebersihannya dan segera periksa ke dokter jika ada tanda-tanda infeksi," ujar Yeosang sambil tersenyum kecil.
Mahasiswa yang terluka itu tersenyum balik. "Terima kasih banyak. Kamu sangat membantu."
Yeosang hanya mengangguk, merasa lega bahwa dia bisa membantu.
Namun, setelah mahasiswa itu pergi, dia kembali tenggelam dalam kesunyian klinik.
Selepas tugasnya di klinik, Yeosang berjalan menuju kafe tempatnya bekerja. Kafe itu adalah tempat yang selalu ramai dengan pengunjung, tetapi bagi Yeosang, itu adalah tempat di mana dia bisa menghilangkan penat dan rasa canggungnya. Sebagai barista, dia menemukan kenyamanan dalam rutinitas membuat kopi, menuangkan susu, dan menyapa pelanggan dengan senyuman ramah meskipun terkadang gugup.
Suatu sore, ketika kafe sedang ramai, seorang pelanggan tetap yang bernama Wooyoung datang dan duduk di kursi favoritnya di dekat jendela. Yeosang mengenal Wooyoung sebagai pelanggan yang selalu memesan cappuccino dan membaca buku di sudut itu. Dia mengambil inisiatif untuk menghampiri meja Wooyoung dengan cangkir cappuccino yang baru dibuat.
"Ini cappuccino pesananmu," kata Yeosang dengan senyum sopan.
Wooyoung mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dibacanya. "Terima kasih, Yeosang. Kamu selalu tahu apa yang kuinginkan," jawab Wooyoung dengan senyum hangat. "Kamu sendiri, bagaimana harimu? Terlihat sangat sibuk seperti biasa."
Yeosang sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak terbiasa dengan percakapan yang lebih pribadi. "Hariku baik-baik saja, hanya sibuk dengan kuliah dan pekerjaan," jawabnya singkat.
Wooyoung menatapnya dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Kamu selalu terlihat sibuk. Apa kamu tidak pernah merasa lelah atau ingin istirahat?"
Yeosang berpikir sejenak sebelum menjawab. "Terkadang lelah, tapi aku menikmati apa yang kulakukan. Aku suka membantu orang di klinik dan bekerja di sini membuatku merasa tenang."
Wooyoung tersenyum, lalu mengalihkan pembicaraan. "Tahukah kamu, aku sering melihatmu di kampus. Kamu terlihat sangat serius dengan studimu. Apa kamu tidak punya teman untuk berbicara atau bersantai?"
Pertanyaan itu membuat Yeosang terdiam. Dia selalu merasa canggung untuk mendekati orang lain, meskipun sebenarnya dia sangat ingin memiliki teman yang bisa diajak berbicara dan berbagi cerita. "Aku... hanya tidak terlalu pandai dalam berinteraksi dengan orang lain," akunya dengan suara pelan.
Wooyoung mengangguk mengerti. "Itu wajar, Yeosang. Tidak semua orang mudah bergaul. Tapi aku yakin, di balik sikapmu yang pendiam, kamu adalah orang yang sangat menyenangkan. Jika kamu mau, kita bisa menjadi teman. Aku selalu ada di sini jika kamu ingin berbicara."
Perkataan Wooyoung membuat hati Yeosang hangat. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli dan mau mengenalnya lebih dalam. "Terima kasih. Aku sangat menghargai tawaranmu," jawabnya dengan senyum yang lebih lepas.
Malam itu, setelah selesai bekerja, Yeosang berjalan pulang dengan perasaan yang berbeda. Ada harapan baru yang tumbuh dalam hatinya, harapan bahwa dia tidak lagi harus menjalani hidupnya dalam kesunyian.
Di bawah langit malam Seoul yang bertabur bintang, Yeosang merasa bahwa dunianya yang dulu terasa sempit perlahan-lahan mulai terbuka, memberikan ruang bagi hubungan dan persahabatan baru yang mungkin akan mengubah hidupnya.
Dengan semangat baru, Yeosang bertekad untuk lebih berani membuka diri, berbicara dengan orang-orang di sekitarnya, dan mungkin, menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari.
Dan dengan itu, dia melangkah maju, meninggalkan jejak kecil di tengah kota besar yang penuh dengan kemungkinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal Episode • All × Yeosang
Fanfictionbottom!Yeosang / Yeosang centric ©2024, yongoroku456