Sepuluh murid dari kelas XII IPA-3 di SMA Garista terlibat permainan mematikan. Permainan klasik bernama 'petak umpet' yang harusnya adalah permainan yang menyenangkan berubah menjadi permainan pertaruhan nyawa yang mengerikan.
Awalnya, mereka adal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku berani mengambil langkah, maka aku juga harus berani menerima konsekuensinya."
- Iliana Hizael -
***
"Orang yang gue kejar semalam ... Sepertinya gue tahu."
"Lo yakin?"
"Gue mau memastikan."
"Jangan gegabah, lo tahu posisi lo saat ini berbahaya.
"Gue cuma mau memastikan, Kav, gue emang yakin kalau dia Anonim, tapi kalau ternyata juga bukan dia gimana?"
"Kali ini sama gue, jangan sendirian."
Setelah cukup meyakinkan Kavindra tadi, Hiza tak lagi merasa ragu. Seseorang yang ia kejar semalam, ia yakin orang tersebut adalah orang yang ia kenal. Dan karena ia mengenal orang tersebut, ia tak bisa percaya begitu saja kalau dia adalah Anonim.
Sedikit keberuntungan memihaknya kali ini. Hiza tak perlu repot-repot apalagi sampai memaksa orang tersebut untuk berbicara baik-baik dengannya. Saat ini ia tengah membersihkan kelas-piket-dengan orang tersebut.
Hiza masih fokus menyapu lantai sembari sesekali menatap cowok yang juga tengah menyapu di barusan bangku sebelahnya. Memastikan tidak ada orang selainnya dan orang tersebut sembari menunggu waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan.
Tak pernah Hiza merasakan suasana sesenyap ini saat ia piket kelas. Biasanya ada obrolan dan candaan yang Abyan dan seseorang di seberangnya saat piket. Namun, kini Abyan telah tiada, dan hal yang terjadi tadi membuat suasana menjadi canggung dan lengang.
"Laki-laki semalam ... Itu lo, 'kan?" tanya Hiza pelan setelah ia memastikan situasi benar-benar aman.
Lengang, tak ada jawaban dari orang itu. Hanya suara sapu yang bergesekan dengan lantai dan kaki meja yang terdengar. Hiza melirik sejenak ke arah orang tersebut. Cowok itu terlihat masih fokus dengan sapu di tangannya. Ah! Tepatnya tak ingin mendengar Hiza.
"Sebelumnya gue minta maaf, karena gue tangan lo jadi terluka," ujar Hiza lagi. "Kita saling tatap, semalam, dan tadi di gudang, gue nggak akan salah mengenal."
Hiza menghentikan sejenak aktifitasnya, meluruskan tubuhnya dan menatap cowok itu dengan serius. "Gue bukannya mau mencari kambing hitam atas apa yang gue lakuin. Gue juga nggak tahu kenapa lo nggak ada di rekaman CCTV itu, gue akui gue salah karena bertindak tanpa membicarakannya dengan kalian semua." Hiza menghentikan sejenak kalimatnya. Ia tahu betul, meskipun cowok itu terlihat tak mendengarkannya, namun apa yang ia ucapkan pasti terdengar olehnya.