Sepuluh murid dari kelas XII IPA-3 di SMA Garista terlibat permainan mematikan. Permainan klasik bernama 'petak umpet' yang harusnya adalah permainan yang menyenangkan berubah menjadi permainan pertaruhan nyawa yang mengerikan.
Awalnya, mereka adal...
- PART ini mengandung kata-kata kasar dan adegan kekerasan yang tidak patut dicontoh! - PART ini mengandung adegan berdarah! Jika takut dimohon SKIP saja. - SEMUA PART DALAM CERITA INI ADALAH FIKSI!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kebencian yang membangkitkan hasrat sebuah dendam."
- Darendra Kyle -
***
Pukul 18.47
Begitulah jam dinding di auditorium menunjukkan waktu saat ini. Tempat luas yang semula ramai oleh kegiatan pameran kini terasa lengang. Semua orang telah meninggalkan tempat ini, hanya tersisa barang-barang meriah yang masih tertata rapi di tempat ini. Semua orang tengah menikmati pertunjukan terakhir di panggung utama sekolah.
Terkecuali beberapa murid dari kelas XII IPA-3. Alih-alih ikut menikmati pertunjukan di luar sana, mereka memutuskan untuk berkumpul di ruang luas tersebut. Tak perlu dipertanyakan lagi, mereka jelas tengah membahas rencana mereka selanjutnya. Jika sesuai perkiraan, maka malam ini adalah hari di mana Anonim akan melancarkan aksinya.
"Kumpulin HP kalian ke atas meja," ujar Ragas membuka suara. Menatap ke arah keenam temannya yang berdiri di sekitarnya secara bergantian.
"Buat apa?" tanya Dion meminta penjelasan.
"Taruh aja," balas Ragas tak memberi penjelasan. Toh mereka akan segera tahu apa yang hendak ia lakukan.
Kavindra dan Hiza mengeluarkan ponsel mereka dan meletakkannya ke atas meja, mengawali. Meski tak mengetahui apa yang Ragas rencanakan, mereka menurut saja dan meletakkan ponsel mereka ke atas meja. Kurang satu ponsel lagi. Mereka menoleh, menatap ke arah Dion yang belum meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Dion?" Kavindra mengangkat suara, meminta temannya itu untuk segera menyerahkan ponselnya. Sejenak, Dion meraih ponsel miliknya dari saku celana seragamnya lantas meletakkannya ke atas meja. Berjejeran dengan ponsel milik teman-temannya.
Terakhir Ragas, cowok itu mengeluarkan ponsel miliknya, menaruhnya di atas meja juga.
"Kalian pernah menghubungi anonim?" tanya Ragas pelan.
"Buat apa? Itu sama aja cari mati," balas Alzian kemudian.
Ragas mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gue bakal hubungi anonim," ujarnya yang sontak membuat atmosfer di ruangan tersebut terasa menegang.
"Lo gila, hah?" hardik Daren tak setuju.
"Ini adalah waktu aktif anonim buat ngincar targetnya, gimana kalau sekarang berbalik, kita yang ngincar?"