Sepuluh murid dari kelas XII IPA-3 di SMA Garista terlibat permainan mematikan. Permainan klasik bernama 'petak umpet' yang harusnya adalah permainan yang menyenangkan berubah menjadi permainan pertaruhan nyawa yang mengerikan.
Awalnya, mereka adal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gue diam, bukan karena membenarkan ulah konyol itu. Melainkan karena ada alasan kuat dibalik ulah konyol itu sendiri."
- Dion Lakeswara -
***
Di antara semua perpisahan yang ada, dipisahkan oleh ajal adalah satu hal yang paling menyesakkan. Karena seberapapun hati ingin bertemu dengannya lagi, semua itu hanya akan berakhir pada harapan. Seseorang yang dirindukan, telah tiada dan tak akan mampu ditemui kembali.
Di kursi panjang tepian kolam yang lengang, Dion tampak menarik napas dengan berat. Cowok itu menatap permukaan air kolam yang terlihat tenang. Ya, tenang, namun mematikan. Siapa sangka, permukaan air yang terlihat begitu tenang-hingga menjadi tempat paling nyaman untuk menenangkan diri- ternyata adalah sebuah maut yang merenggut nyawa dalam sekali hentakan. Siapa sangka, sumber ketenangan Callista-lah yang ternyata merenggutnya dari dunia ini.
"Dion, gimana kalau gue nggak selamat malam ini? Gimana kalau-"
"Tenang, Callista, gue bakal ke sana sekarang."
"Kalau bener gue nggak bisa selamat malam ini, seenggaknya lo harus denger ini. Gue berterimakasih banyak sama lo karena telah hadir di hidup gue. Gue ...."
"Gue belum ingin pisah sama lo. Jadi, gue mohon jangan ngomong kek gitu. Gue ke sana sekarang."
Dion menarik kedua ujung bibirnya dengan pilu. Ia ingat betul percakapan terakhirnya dengan Callista. Percakapan terakhir yang tak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun itu. Sama seperti Callista, ia juga sungguh berterimakasih pada gadis itu karena telah hadir dalam hidupnya. Percakapan terakhir yang membuatnya merasa begitu kecewa pada dirinya sendiri.
Andai ia datang lebih cepat, ia pasti bisa menyelamatkan Callista lebih cepat. Entah secepat apa itu, seharusnya ia menolong Callista keluar dari kolam renang lebih cepat. Gadis itu memiliki penyakit asma, dengan terus tenggelam di dalam air, rongga dadanya semakin kehilangan pasokan udara dan semakin lama nyawanya mulai terkikis habis.
Dion menyesal, sungguh menyesal. Ia telah kehilangan sosok yang paling berharga di hidupnya. Andai ia bisa memutar waktu lebih lama lagi. Namun semua itu hanyalah kata 'andai' yang terus berputar dalam kepala.
Cowok itu mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit di atas sana dengan dadanya yang terasa sesak. Ia menutup kedua matanya untuk beberapa saat. Ia kemudian menatap sebuah smartwatch milik Callista di genggaman tangannya. Hanya benda ini yang gadis itu tinggalkan untuknya. Benda yang Callista kenakan semalam dan masih bisa digunakan.
Dion memencet tombol 'on' pada smartwatch tersebut. Membuka beberapa aplikasi yang sering gadis itu gunakan. Banyak yang tertinggal di benda kecil ini, semua kenangan lama yang pernah ada, Callista menyimpannya di sana.