Sepuluh murid dari kelas XII IPA-3 di SMA Garista terlibat permainan mematikan. Permainan klasik bernama 'petak umpet' yang harusnya adalah permainan yang menyenangkan berubah menjadi permainan pertaruhan nyawa yang mengerikan.
Awalnya, mereka adal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mementingkan keselamatan sendiri adalah hal yang wajar, lantas kenapa lo berpikir bahwa lo jahat? Semua orang pun pasti melakukan hal yang sama."
- Kavindra Michael Abhistair -
***
"Kamu mau ke mana, Hiza?"
Suara itu menghentikan langkah kaki Hiza. Ia menoleh ke asal suara, tepatnya ke arah Henry yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jasnya yang rapi. Laki-laki paruh baya itu mengernyitkan keningnya begitu melihat putrinya tak memakai seragam sekolahnya. "Kamu nggak pergi ke sekolah?" tanyanya.
Hiza menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku mau ke rumah sakit sekarang," balasnya.
"Kamu bisa menjenguk Kavin sepulang sekolah nanti, sayang," ujar Henry mengetahui maksud Hiza yang hendak pergi ke rumah sakit.
Hiza kembali menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku nggak mau ke sekolah hari ini. Aku belum tahu kabar Kavin dengan baik sejak kemarin."
"Kamu sudah tahu kabarnya semalam, dia baik-baik saja," balas Henry menanggapi.
"Aku belum bicara sama Kavin, dia lagi sakit, dan aku harus jagain dia," balas Hiza kekeuh. Gadis itu beranjak dari tempatnya. Ia harus segera pergi sekarang, namun suara Henry kembali menghentikan langkah kakinya.
"Kalau gitu biar Papa yang antar."
Hiza terdiam beberapa saat, ia kembali menolehkan kepalanya ke arah Henry. "Nggak usah, Papa pasti banyak urusan di kantor hari ini."
"Kalau kamu memang mau jenguk Kavin sekarang, Papa yang antar, kalau kamu nggak mau, nggak usah ke rumah sakit sekalian."
Kalimat yang cukup membuat Hiza terdiam lama. Tak pernah ia melihat ayahnya bersikap seperti ini kepadanya. Laki-laki itu jarang sekali mempedulikan apa yang hendak ia lakukan. Namun, mengapa tiba-tiba peduli seperti ini?
Mau tak mau Hiza harus menurut pada Henry. Sembari menunggu ayahnya mengambil kunci mobil di kamarnya, Hiza berjalan menuruni tangga dan keluar dari rumah terlebih dahulu. Menunggunya selama beberapa saat di teras rumah.
Lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di rumah sakit. Dengan sebuah paper bag berisi kue di tangannya, Hiza berjalan cepat menuju kamar Kavindra di lantai tiga. Tentunya diikuti Henry di belakangnya.
Hiza membuka pintu kamar inap Kavindra dengan perlahan, membuat kedua orang di ruangan tersebut menoleh ke arahnya. Melihat tatapan hangat Raya ke arahnya, Hiza lantas tersenyum dengan manis. Tak lupa ia menyapanya dengan sopan.