Sepuluh murid dari kelas XII IPA-3 di SMA Garista terlibat permainan mematikan. Permainan klasik bernama 'petak umpet' yang harusnya adalah permainan yang menyenangkan berubah menjadi permainan pertaruhan nyawa yang mengerikan.
Awalnya, mereka adal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Diam dan membiarkan kebejatan terjadi tepat di depan mata, dia sama saja seperti si berengsek yang melakukan kebejatan itu. Dan gue adalah salah satunya"
- Alzian Nolan -
***
Seorang cowok dengan seragam sekolah melekat di tubuhnya terlihat melangkahkan kedua kakinya di lorong rumah sakit yang lengang. Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah kamar inap nomor 312. Tangan kanannya sudah memegang knop pintu, hendak membukanya, namun pergerakannya sejenak terhenti begitu melihat dua orang di kamar inap itu melalui celah jendela.
Ragas, cowok itu terdiam beberapa saat. Kedua matanya menatap lurus ke arah Kavindra dan Hiza yang tengah berpelukan di dalam sana. Jika ia masuk sekarang, apakah ia akan mengganggu privasi mereka berdua? Haruskah ia menunggu beberapa saat demi memberi ruang untuk mereka berdua bersama? Meskipun tidak tahu secara pasti, namun Ragas bisa mengetahui suasana menyakitkan yang tengah menyelimuti keduanya.
Ragas melepaskan tangannya dari knop pintu. Wajah cowok itu masih terlihat muram sejak hari kemarin. Ia tak memiliki semangat sedikitpun dalam benaknya, pikirannya masih terasa kacau hingga saat ini dan kedua bahunya terasa begitu berat, seolah ada beban tak kasat mata yang hinggap di atasnya.
Semua orang yang terseret dalam permainan ini merasakan hal yang sama dengannya. Lelah, pedih akan kehilangan, ketakutan yang melanda, kemarahan yang kian membuncah, dan berujung menjadi kehampaan yang begitu pilu. Memang terasa berat karena tak ada seorangpun yang berdiri bersamanya saat ini, namun tetap saja, bukan hanya dirinya saja yang merasa menderita.
Ragas mendongakkan kepalanya, ia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Sejenak, setelah melihat Kavindra dan Hiza telah saling melepas pelukan, ia beranjak memasuki ruang kamar inap tersebut.
Kedatangannya barusan membuat kedua orang di ruang tersebut menolehkan kepalanya, menatap ke arahnya. Ragas menarik kedua ujung bibirnya perlahan, "Gimana kondisi lo sekarang?" tanyanya pada Kavindra.
Kavindra balas tersenyum, "Gue nggak papa."
"Syukurlah kalau gitu," ujar Ragas masih dengan senyum di wajahnya.
Hiza beranjak bangkit dari duduknya, memberi tempat untuk Ragas di sebelah Kavindra, namun Ragas lebih dulu menolaknya, "Lo di situ aja, gue bisa duduk di sana," ujarnya sembari menunjuk sebuah sofa di sebelah jendela dengan dagunya.
Gadis itu mengangguk singkat lantas duduk di atas kursi di sebelah ranjang Kavindra. Sedangkan Ragas, cowok itu kemudian duduk di atas sofa tersebut.
"Gue baru dapat kabar tadi pagi, sorry, gue nggak bisa jenguk lo semalam," ujar Ragas beberapa saat kemudian.
"Nggak papa, lagian gue nggak separah itu," balas Kavindra dengan senyum tipis di wajahnya. Lengang sejenak, suasana di ruang tersebut terasa lengang.
"Lo nggak ke sekolah hari ini, Gas?" tanya Hiza memecah lengang, berusaha mencari topik pembicaraan. Ia dan Kavindra sepakat untuk tak membahas sedikitpun tentang permainan itu. Bukan karena tak ingin, namun mereka hanya ingin menjaga perasaan Ragas. Meski mereka memiliki kecurigaan yang besar terhadap cowok itu, namun mereka tak bisa mengutarakannya tanpa ada bukti yang kuat.