𝟸𝟹. 𝚃𝚎𝚜𝚝𝚙𝚊𝚌𝚔 𝚍𝚊𝚗 𝚃𝚎𝚝𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊 𝙱𝚊𝚛𝚞

145 15 14
                                    

"Hati-hati keseleo sama typo!"










"Ayah, nanti bunda diculik om Ian loh."


















***

"Sayang ngga papa, kita coba lagi nanti ya."

Untuk ketiga kalinya dalam 4 bulan belakangan ini, benda pipih berbentuk stik dalam genggaman Thea belum menunjukkan hasil yang selama ini dia dan Tio tunggu. Keduanya duduk di sisi ranjang dengan Thea yang berada dalam rangkulan Tio. Pagi ini, hal yang sama dengan sebelumnya terjadi lagi. Testpack ketiga yang udah Thea coba belum menghasilkan hasil positif. Kali ini, mereka gagal lagi.

"Udah, jangan nangis. Nanti Tuhan sedih, masa makhluk ciptaannya yang paling cantik ini langsung nyerah begitu. Semangat sayang, nanti hasilnya pasti sesuai keinginan kita kok, kita usaha terus ya?"

Usapan lembut pada bahu, kecupan berkali-kali pada pucuk kepalanya, juga kalimat menenangkan yang Tio katakan, ngebuat Thea makin ngerasa sedih-tapi juga ngerasa disayangi. Sebenernya dia nggak terlalu sedih-sedih banget. Namun, ucapan Tio yang begitu tulus juga tatapan matanya yang menyejukkan, sedikit menggores hati Thea. Dia jelas tau, kalo apa yang Tio ucapkan pun nggak sesuai dengan isi hatinya. Bukan Thea menganggap Tio berbohong demi membuat dia bahagia, Thea jelas tau kalo Tio ikutan sedih disini, tapi laki-laki itu bersikap biasa aja supaya Thea nggak ikutan sedih.

"Mas nggak kecewa sama aku kan?"

Alis Tio terangkat, terlihat nggak suka dengan apa yang Thea tanyakan. "Kenapa kecewa? Emang ini salah kamu?"

"Tapi aku belum bisa ngasih mas anak."

Tio menggeser badan Thea supaya mereka berhadapan, satu tangan Thea digenggamnya. "Sayang, denger ya. Bukan cuma kamu yang ngasih aku anak, bukan cuma aku juga yang ngasih kamu anak, melainkan Tuhan yang nitipin itu buat kita lewat usaha kita sama-sama. Jadi kalo kita belum punya anak sampe sekarang, berarti Tuhan belum ngizinin kita buat punya itu. Yang salah bukan kamu, yang usaha bukan cuma kamu, kita yang harus usaha sama-sama. Jangan salahin diri kamu sendiri."

"Kita baru empat bulan menikah, hampir lima bulan dalam beberapa hari lagi, ini baru awal, terlalu dini untuk menyerah, terlalu dini untuk kecewa. Kamu tau kan, banyak suami istri diluar sana yang harus nunggu bertahun-tahun untuk punya keturunan, bertahun-tahun nunggu titipan buah hati dari Tuhan. Di lima bulan pernikahan kita sekarang malu rasanya untuk menyerah gitu aja. Pikir positif aja, kita belum dikasih keturunan mungkin Tuhan masih belum cukup yakin kita akan menjadi orang tua yang baik nantinya. Jadi daripada nyerah, nyalahin diri sendiri, nyalahin keadaan, lebih baik kita berdua sama-sama perbaiki diri kan, kita tunjukkin, kita buktiin ke Tuhan kalo kita udah pantes buat jadi orang tua yang baik."

Pipi Thea Tio usap perlahan, senyumnya tulus tercetak manis dibibir menghias wajahnya yang terpahat sempurna itu. "Jangan sedih-sedih lagi ya?"

"Gimana kalo aku memang nggak bisa punya an...

"Ssssttt," telunjuk Tio menempel di bibir Thea, menutup belah bibir yang belum sempat menyelesaikan ucapannya. "Gimana kalo pikiran jelekmu itu dibuang jauh-jauh?"

Thea menunduk lesu, merasa bersalah, "kepikiran terus."

Tio tarik kepala Thea secara perlahan agar bersandar di dadanya. "Apa yang kamu pikirin, bagi-bagi sini biar aku juga tau."

"Gimana kalo mama nanyain terus, gimana sama orang-orang di kampus, gimana kata temen-temenmu, gimana sama pendapat orang lain tentang kita yang belum punya anak? Mereka pasti mikir akunya yang nggak bisa ngasih kamu anak, akunya yang mandul. Terus kalo begitu mereka pasti komentar ini itu, nyaranin kamu buat cari perempuan lain dan nikah lagi."

𝐒𝐈𝐀𝐍𝐈𝐃𝐀; 𝐒𝐢𝐚𝐩 𝐍𝐢𝐤𝐚𝐡𝐢 𝐃𝐮𝐝𝐚 (𝐒𝟏 & 𝐒𝟐)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang