11. Sang Ketua

616 71 6
                                    

Tameng
—11. Sang Ketua—

------

Cape banget berusaha ngimbangin yang ga searah, berusaha menyatu sama yang langkahnya beda.

------

"Gue pengen balik kesana lagi, udah kangen banget ini."

Shankara tidak langsung menanggapi ucapan Jiyon, malah ia mengulas senyum tipisnya dan menatap temannya itu.

"Silahkan, dengan begitu tugas lo udah selesai kan?"

Jiyon terkekeh setelah mendengar nada sinis dari Shankara. "Gue nggak ada maksud untuk mengusik kehidupan baru lo disini, tapi mau nggak mau gue jadi terlibat sama geng nya Rego."

Shankara menyugar surai nya, menoleh dan menatap wajah Jiyon dengan tatapan remeh. "Apa aja yang lo laporin pada ketua tentang gue?"

Jiyon tersentak, ia terdiam dengan kaku. Shankara memang bukan orang bodoh, Jiyon seharusnya bisa menebak kalau Shankara sudah pasti tau niat terselubungnya.

"Lo bergabung dengan Rego bukan hanya karena sekedar balas budi kan?" Tanya Shankara lagi.

Sedangkan Riki kini mematik korek api dan menyalakan rokoknya sembari menyimak pembicaraan kedua teman lamanya itu.

Pemuda dengan darah campuran Indo — Korea itu terkekeh, kembali mengalihkan pandangannya pada langit yang mulai menggelap.

"Benar, Rego sadar gue pernah menjadi salah satu anggota Suarga dan melihat potensi gue. Rego dateng seolah menjadi penyelamat buat gue, dan gue pun mendapat tawaran untuk bergabung sama dia."

Shankara mengangguk paham, ternyata semua dugaan nya benar tanpa keliru. Termasuk —

"Termasuk Ketua yang tau posisi gue, dia segera ngasih gue instruksi. Rego sedari dulu terobsesi dengan Suarga, makanya setiap ada member yang keluar pasti langsung di rekrut sama dia."

Riki berdecak. "Nggak ada selesai nya tuh orang kalo nurutin ambisi nya, dia pikir Suarga bisa dijatuhin dengan mudah apa gimana?"

"Ralat. Banyak yang mengincar Suarga bukan karena ingin melindasnya, melainkan ingin mengambil alihnya."

Jiyon dan Riki dibuat terdiam dengan mata yang membulat, Shankara mengucapkannya tanpa beban karena memang begitulah faktanya. Suarga terlalu berharga untuk dihancurkan begitu saja.

Selesai dengan obrolan mereka, Shankara kembali ke rumah pukul sembilan malam. Alasannya karena Wilard menelfonnya dan berkata ingin dibelikan nasi uduk.

Aneh, Shankara akui ia sebal dengan permintaan Wilard yang satu ini. Karena bukan hal mudah mencari nasi uduk di malam hari, namun Shankara tetap melakukannya.

Yang lebih muda sudah menunggu sembari duduk di sofa ruang tamu, senyum terbit melihat kedatangan Shankara yang langsung menyodorkan bungkusan nasi uduk nya.

"Terimakasihh terimakasihhh!" Wilard segera melesat kedapur untuk memakan nasi uduk nya.

"Astaga, jadi itu toh yang kamu pengenin? kasian abang mu harus nyariin dulu." Bunda Yika berucap setelah memberikan kopi untuk suami nya.

Shankara duduk berhadapan dengan Teo, ia membuka hoodie juga melepaskan kacamatanya. Seketika pemandangan blur sajalah yang bisa Shankara lihat, ia mengusap kedua matanya beberapa kali untuk membiaskan penglihatannya.

"Minus mu bertambah parah?" Teo akhirnya bertanya melihat bagaimana tidak nyaman nya Shankara, namun sang putra hanya menggeleng saja.

Wilard yang sibuk menyuapi sang bunda pun menoleh ikut memperhatikan Shankara. "Tapi beberapa kali bang Kara nggak pake kacamata nggak apa-apa tuh."

TamengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang