Teriakan dan erangan dari jauh membangunkanku. Merasa sangat pusing, kepalaku menengok kanan dan kiri, berusaha mengenali tempat di mana aku berada, tapi aku tidak bisa mengenali apa pun di sekitarku.
Semua gelap, berkabut, membuatku kesulitan melihat apa pun.
Teriakan semakin kencang, dan mataku membesar saat teriakan itu menjadi satu-satunya hal yang kukenal. "Harry?" Aku berteriak, beranjak dari posisi berbaringku segera sambil masih berusaha mengenali area ini.
Aku merasa lemah, tersandung kakiku sendiri beberapa kali sebelum bisa berjalan tegak. "Kau akan membuat Dark Lord sangat senang jika kau menurutiku," suara dari belakangku berbisik, dan aku bisa merasakan ujung tongkat sihir di belakang kepalaku.
Aku berhenti, aku tau pergerakan tiba-tiba akan mengantarku ke ajalku. Sebelum aku bisa berbalik badan, aku didorong perlahan, tongkat masih di kepalaku.
Di mana aku?
Aku terus berjalan, diarahkan ke area yang lebih luas, aku memindainya cepat; mataku mengarah langsung ke kakakku. "Harry!" Aku berjalan cepat, sosok kakakku membuatku lupa dengan adanya lelaki di belakangku.
Harry langsung menengok ke arahku, dan ekspresi wajahnya hampir membuatku hancur. Ia terlihat bingung sebelum terlihat bercampur antara terkejut, terluka dan takut.
Aku terlalu fokus padanya, aku bahkan tidak menyadari hal lain di sekitar kami. Memulai dari pemandangan banyak orang dengan jubah hitam. Harusnya aku melihat mereka dulu sebelum aku berteriak dan menyita perhatian mereka.
"Ah, tamu istimewa kita. Kau suka kejutan ini, Harry Potter? Kami membawanya ke sini hanya untukmu." Tubuhku membeku ketika aku melihatnya. Aku tidak butuh satu detik pun untuk mengenalinya.
Lalu, semuanya masuk akal. Seperti potongan teka-teki yang terpasang dengan sendirinya membuatku terkesiap. Aku yakin wajahku terlihat panik, dan aku melihat kembali antara Harry dan Voldemort. Itu membuatnya menyeringai.
"Anak laki-laki yang selamat," ia berkata, dan matanya tertuju padaku. "Dan anak perempuan... yang tidak dikenali." Aku meringis melihat ekspresi bahagianya, tapi tidak ada yang mengatakan apa pun.
Lalu ia mulai berbicara. Tentang hal-hal yang tidak ingin kudengar.
Aku berusaha untuk tidak mendengarnya, tidak ingin mendengar nama ibuku keluar dari mulut baunya. Sudah 13 tahun berlalu, tapi rasanya hal itu tetap dengan mudahnya menghancurkanku.
Dan aku tidak boleh hancur. Tidak di sini. Tidak sekarang.
"Tapi semuanya sudah berubah." Aku menyaksikan Voldemort setengah terbang ke arah Harry, dan aku menahan napas, takut dengan apa yang akan terjadi. "Aku bisa menyentuhmu sekarang."
Ia dengan perlahan menggerakkan tangan ke arah kakakku, jarinya hampir menyentuh dahinya.
"Berhenti!" Aku berteriak saat aku melihat Harry yang merasa sakit. Ia mengerang kencang saat disentuhnya, dan aku yakin aku juga merasakannya. "Berhenti!" Aku mengulang, dan ia melepaskan kakakku.
Napas lega keluar dari mulutku saat aku melihat wajah Harry yang lebih tenang. "Ayo bersenang-senang sebelum aku membunuhmu, Potter." Ia berkata sambil berbalik badan.
Hal berikutnya adalah tangannya melingkari leherku dan tongkat sihirnya di kepalaku. Harry terdengar panik dan Voldemort tertawa. "Kau sangat peduli padanya, kan?" Ia bertanya, menggerakkan tongkatnya seperti menggambar garis di wajahku.
"Jangan sentuh dia!" Harry berteriak, berusaha melepaskan dirinya dari patung yang memeluknya; tidak berhasil.
Ia tertawa. "Kau tidak pernah belajar, ya, Harry Potter?" Sesaat setelah dia berkata, ia mendorongku menjauhinya, cukup kencang untuk membuatku jatuh. "Kau tidak bisa memerintahku."
Yang kurasakan selanjutnya adalah hal yang tidak pernah kurasa sebelumnya. Aku menggeliat di seluruh tanah, berusaha menghilangkan atau meredakan rasa sakit di tulang-tulangku. Di tulangku, di kulitku, di dagingku.
Rasanya seperti seluruh bagian tubuhku, luar dan dalam, sedang terbakar. Seperti ratusan pisau ditusukkan padaku. Seperti kerangkaku akan terbelah dua; semuanya secara bersamaan.
Yang bisa kulakukan adalah merasakan sakitnya; semakin sakit dan semakin sakit. Begitu saja, bahkan teriakan Harry yang menyedihkan tidak bisa menembus kesadaranku.
Tentu, ini bukanlah hal yang bisa ditahan lama. Tapi rasanya tidak ada hentinya. Dan aku ingin... aku ingin ini berakhir. Semua menjadi gelap; atau mati sekalian, mungkin.
Kemudian, rasa sakit itu berhenti. Tubuhku mati rasa, dan aku tidak bisa menggerakkan apa pun. Terlalu lelah dari kejadian tadi.
Perlahan aku bisa konsentrasi dengan situasi ini, dan aku tidak menyukainya. "Jangan membelakangiku, Harry Potter!"
Aku tersadar Harry tidak disekap oleh patung itu lagi, ia berlari bersembunyi ke belakang salah satu batu nisan. "Kau harus melihat mataku saat aku membunuhmu! Aku ingin melihat cahaya redup di matamu!"
Aku bergetar mendengarnya, air mata jatuh di pipiku. Ia tidak boleh mati di sini. Tidak seperti ini.
Aku berhasil merangkak ke samping, berusaha mencari perlindungan seperti Harry. Tapi aku malah tersandung sesuatu yang aku sesali melihatnya.
Tubuh kaku Cedric Diggory, mata kosongnya menatap tepat ke arahku. Aku menangis, air mata membuat pandanganku kabur. Tidak, ini tidak terjadi. Aku hanya bermimpi, mimpi buruk yang terlalu nyata.
Aku berusaha fokus, menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiranku yang tidak penting. Aku menarik napas sebelum meletakkan tanganku di wajahnya, menutup matannya.
"Ya sudah, terserah kau." suara Harry membuatku mengalihkan perhatianku dari mayat Cedric, dan saat aku berbalik badan, aku melihat kakakku sedang berduel dengan Voldemort.
Aku tidak bisa mengarang tentang ini. Ia gila, tapi aku mengakui kekuatan dan keberaniannya.
Sesuatu berbentuk kubah muncul di sekitar mereka; semuanya terjadi begitu cepat, sulit untukku mengerti apa yang sedang terjadi. Pandanganku masih kabur; tubuhku masih lemah. Aku merasa tidak berguna, menyaksikan di sini sementara kakakku bertarung dengan lelaki yang membunuh orang tua kami.
Cahaya biru terang terlihat sebelum aku merasakan adanya Harry di sebelahku. Ia terengah-engah, memegang aku dan Cedric sebelum mengayunkan tongkatnya. "Accio!" Ia berteriak, dan piala terbang ke arah kami.
Begitu saja, saat aku membuka mata, kami kembali ke Hogwarts. Aku bisa mendengar sorakan, tepuk tangan, dan band memainkan musik riang.
Kenapa mereka bersorak? Mereka tidak lihat kejadian barusan?
Harry memegang kami erat. Ia menangis, bahkan tersedu, dan itu membuatku menangis lagi.
Aku tidak mengenal Cedric, bahkan tidak pernah berbicara lebih dari dua kata padanya, tapi tidak ada yang pantas mati seperti itu.
Lalu, perlahan, aku bisa mendengar satu per satu orang mulai menyadari apa yang terjadi. Sorakan segera sunyi, teriakan yang sekarang kami dengar, band berhenti memainkan musik.
Saat ini, Dumbledore di sebelah kami. Aku memandangnya, memberitahunya aku masih hidup, dan dia mengangguk, sebelum membantu Harry menjauh dari Cedric. Walau sulit.
"Astaga, Dumbledore, apa yang terjadi?" Aku mendengar suara yang bertanya terkejut, dan sebelum aku bisa menjawab, Harry melakukannya.
"Dia kembali!" Ia berteriak, suaranya penuh rasa sakit. "Voldemort kembali!" Suaranya lebih halus. "Cedric, dia memintaku membawa tubuhnya kembali. Dan Y/n... aku tidak bisa membiarkan mereka; tidak di sana."
Ia mulai menangis lagi, genggamannya semakin erat.
"Tidak apa-apa, Harry, tidak apa-apa. Mereka sudah pulang. Kalian bertiga sudah pulang." Dumbledore berusaha menenangkannya, tapi perkataannya malah membuatnya menangis semakin kencang; terisak kencang.
Aku sendiri; aku tidak menyukai ini sama sekali. Seluruh mata memandang kami, semua berbicara, semua berbisik. Tangis Harry; membuat kepalaku berputar. Aku masih merasa terlalu lemah untuk bergerak sendiri. Hal yang paling mudah adalah menutup mata. Maka itu yang kulakukan.
Dan untungnya, dengan begitu, suara-suara berhenti, dan semuanya sunyi. Sunyi dan gelap.
Hal terakhir yang kudengar adalah suara panik menanyakan apa aku baik-baik saja sebelum aku terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
POTTER? || Draco Malfoy X Reader [BAHASA INDONESIA]
Fanfiction"Aku tidak tau kau punya adik, Potter" Original story bahasa Inggris oleh @Seselina [https://www.wattpad.com/story/241178840-potter-draco-malfoy-x-reader]