Aku tidak bisa berpikir lurus. Aku masih tidak bisa berpikir lurus.
Aku dan Harry tinggal di markas Orde selama beberapa hari setelah kejadian itu, sadar bahwa kami tidak mampu kembali ke Hogwarts, datang ke kelas dan mengerjakan tugas seperti tidak ada yang terjadi.
Aku tidak menangis sekali pun. Kapan pun aku mengulang kejadian itu di kepalaku, aku tidak merasakan apa pun; aku mati rasa, dan aku mulai memikirkan apa ada yang salah denganku. Tapi Lupin berkata bahwa semua orang berduka dengan cara yang berbeda-beda, dan itulah, faktanya, tidak ada yang salah denganku.
Lupin dan Tonks memaksa untuk menemani kami sampai kami siap kembali pulang. Dan walau pun niat mereka baik, rasanya berada di sini tanpa Sirius tidak lebih baik dibanding berada di mana pun tanpanya.
Aku dan Harry memutuskan untuk pulang setelah dua hari.
Dan sekarang jantungku berdebar hebat di dadaku, dan aku merasa mual saat berjalan memasuki kastel. Sadar bagaimana semua orang pasti sudah melihat surat kabar, membaca judul, dan mendengar cerita-cerita yang beredar. Sadar bahwa aku harus menjelaskan kepada siapa pun yang bertanya besok pagi.
Aku tidak bisa menahan segala perhatian yang mungkin datang padaku. Harry sudah terbiasa dengan ini semua, tapi tidak denganku, karena itu aku memaksa untuk kembali saat malam hari, di atas jam malam. Dumbledore mengizinkanku.
Harry sudah pulang berjam-jam sebelumnya, tapi aku tidak peduli. Dengan begitu, pada murid bisa melirik penasaran padanya dan menanyakan banyak pertanyaan padanya, dan mungkin aku bisa melanjutkan tanpa melalui itu semua. Mungkin itu kenapa ia melakukannya; dia tau sebenci apa aku saat mendapat perhatian.
Aku berjalan lemas di sepanjang koridor menuju ruang bawah tanah, merasa damai dengan anehnya saat melangkahkan kaki masuk ke Hogwarts. Semua yang kumiliki ada di sini. Ini adalah rumah.
Satu hari sebelum password di ruang rekreasi akan berganti lagi, jadi, aku tidak perlu mengetuk pintu Snape untuk bertanya, aku hanya menggumamkan katanya dan menunggu dinding terbuka.
Aku menghela napas saat memasuki dinding yang terbuka, siap untuk kembali ke asramaku dan bersembunyi hingga pagi hari untuk menghabiskan waktu bersama Wren.
Kami bisa bolos, berjalan dengan keheningan yang nyaman di antara kami, dan hanya menikmati kehadiran satu sama lain.
Aku benar-benar mengabaikan sosok yang masih ada di ruang rekreasi, terlalu terbawa oleh pikiranku. Walau, suaranya jelas menangkap perhatianku.
"Y/n."
Aku berhenti melangkah, menyempatkan untuk berbalik untuk melihat wajah orang yang berbicara.
"Kenapa kau masih bangun?" Aku bertanya, menelan ludah saat melihat mata Draco yang menatapku. Mata yang sangat mengingatkanku dengan ayahnya, dan apa yang ia katakan. Dan apa yang ia perbuat.
Tapi merayu satu-satunya keluarga yang Potter miliki; mendekatimu hingga kau akan berlari ke Draco saat ada masalah. Itu ciri khas keluarga Malfoy.
Aku menggelengkan kepala untuk menghapus ingatan itu, berjalan ke arah si pirang hingga kami berhadapan.
"Aku mengira kau akan kembali saat aku mendengar kakakmu sudah. Menurutku patut dicoba untuk tidur larut." Ia mengangkat bahu, tidak memutuskan kontak mata.
Aku mengerutkan alis saat mendengar bagaimana acuhnya ia berbicara, dan sebelum aku menyadari sepenuhnya dengan apa yang kulakukan, tanganku bergerak ke pipinya secara tiba-tiba, memukulnya dengan cukup keras untuk membuat kepalanya menoleh ke samping secara tiba-tiba.
Terkejut, ia menoleh kembali padaku, mengelus pipi dengan tangannya. Ekspresi wajahku masih datar, dan aku tidak bergerak sedikit pun. Bahkan saat rahangnya menegang, dan alisnya mengerut marah.
"Apa-apaan?!"
"Apa kau bahagia sekarang?" Aku bertanya, merasa akhirnya bisa melepaskan dinding yang kubangun di sekitar perasaanku. Mereka hancur satu per satu; dengan perlahan membiarkan amarah, duka, pengkhianatan, dan entah apa lagi yang kurasakan selama satu minggu terakhir, untuk lepas. "Kau bangga dengan dirimu, Malfoy? Merayu satu-satunya keluarga Potter yang tersisa?" Aku mengejek kata-kata ayahnya, merasa muak saat mendengarnya keluar dari mulutku.
Napasku menjadi lebih berat, menunggunya mengatakan sesuatu, apa pun, tapi ia tidak menggerakkan satu pun otot di tubuhnya. Ia hanya berdiri di sana, menatapku, alisnya masih sama.
"Kau merasa sukses setelah berhasil melakukannya?" Aku berteriak, merasa amarahku yang semakin dalam. Air mata terbendung di mataku karena merasa frustrasi. "Sekarang kau memilikinya di mana kau menginginkannya? Sekarang dia merasa nyaman bersamamu? Sekarang dia menyukai-mu?"
Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum bisa kuhentikan, tapi aku tidak menyesalinya. Setelah pembicaraan ini, aku tidak akan mengatakan apa pun lagi padanya.
"Kau itu mimpi buruk, Draco Malfoy!" Aku melanjutkan, suaraku kencang. "Untuk berpikir aku cukup naif, cukup bodoh, mengira kau terkadang bisa menjadi manusia biasa. Harry benar selama ini. Astaga, memalukan sekali. Kau hanya—" Aku meracau, mengerang di antara setiap kalimat, dan berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengeluarkan amarahku. Ia menyelaku.
"Aku peduli padamu, Y/n."
"Kau tidak berhak untuk menyelaku sekar— apa?" Aku sangat marah aku bahkan tidak mendengar apa yang ia katakan, hanya mencernanya beberapa detik kemudian. Aku memiringkan kepala sedikit, mulutku tertutup perlahan.
"Aku sangat peduli padamu," Ia mengulang sedikit lebih kencang, matanya menatapku, tidak sedikit pun merusak kontak matanya.
Napasku berdengking, berharap ia tidak mendengarnya.
"Kau tidak bisa mengatakan itu," Aku berbisik, kepalaku menggeleng menolaknya. "Tidak. Kau tidak bisa mengatakan itu setelah apa yang ayahmu katakan. Aku tau kau tau apa yang kubicarakan."
Ia mendengus, matanya masih menatapku saat ia melangkah mendekat. Terlalu dekat, aku harus mendongak untuk menatap matanya. "Aku tidak bisa berbohong jika memang itu kebenarannya."
"Kau tidak pernah peduli dengan kebenaran, Draco." Aku mengingatkannya, dadaku naik turun saat aku bernapas berat.
"Sekarang iya."
Jari-jarinya meraba garis luar wajahku dengan perlahan. Ia tidak pernah menyentuhku seperti ini sebelumnya, memperlakukanku seakan aku dapat rapuh dalam sentuhannya. "Aku tidak menyalahkanmu untuk percaya perkataannya. Dan aku tidak menyangkal bahwa memang aku mengatakan itu semua padanya."
Ia menghela napas sekali. "Tentu hanya untuk membuatnya diam. Kalian sudah bertemu sekarang... Dia bisa menjadi orang yang, bagaimana aku mengatakannya, menegangkan." Ia menggelengkan kepala dengan pemilihan katanya. "Aku hanya tidak ingin dia ikut campur di mana pun."
Aku berpikir panjang dan keras tentang apa yang ia katakan. Berharap aku tidak membuat kesalahan dengan mempercayainya. Aku mengangguk pelan dan aku merasa jantungku berdetak semakin kencang sebelum ia menutup jarak yang ada pada kami sebelumnya.
Dengan perlahan, bibirnya mulai bergerak ke arah bibirku, menghela napas sesaat setelah aku menciumnya kembali. Perutku terasa terguncang saat merasakan bibirnya padaku, tubuhnya sangat dekat denganku; di mana sepuluh menit yang lalu, aku pikir aku tidak akan merasakannya lagi.
Dan aku tersenyum lembut, bibirnya masih dengan bibirku-senyum kecil yang tulus. Senyuman pertama sejak Sirius pergi.
Aku merasa lebur sepenuhnya dalam ciuman itu, menyerap saat-saat ini seperti tidak akan terjadi lagi. Tapi tidak; masih terlalu banyak yang akan terjadi.
Akan ada banyak hal yang akan terjadi.
TAHUN KE-5 BERAKHIR
---
Sesuai omonganku di awal, mulai tahun ke-6 aku ubah bukunya jadi kategori dewasa yaaa guysss 🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
POTTER? || Draco Malfoy X Reader [BAHASA INDONESIA]
Fanfiction"Aku tidak tau kau punya adik, Potter" Original story bahasa Inggris oleh @Seselina [https://www.wattpad.com/story/241178840-potter-draco-malfoy-x-reader]