Aku berlari mengejar Harry secepat yang aku bisa, bersyukur karena dia tidak jauh lebih tinggi dariku.
Rasanya tepat untuk mengejarnya, menuruni tangga, melalui aula besar yang gelap dan keluar dari kastel. Aku tau ia akan melakukan hal bodoh. Aku bisa melihat itu di matanya, di sikapnya.
Tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Aku juga merasa akan melakukan hal bodoh.
"Snape!" Kakakku berteriak, menangkap sosok profesor dan seluruh Death Eater di gubuk Hagrid. "Dia percaya padamu!" Ia melanjutkan, suaranya menyakitkan dan putus asa.
Draco bersama mereka. Dan jantungku seakan berhenti untuk beberapa detik ketika kami berkontak mata untuk pertama kalinya.
Ia cukup jauh, tapi, aku bisa melihat alisnya mengerut bingung, kecewa. Bagaimana ia memandangku setelah aku secara tidak langsung berjanji akan tetap berada di ruang bawah tanah malam ini agar aku tidak menyaksikan ini.
Mulutnya sedikit terbuka, ia hanya berdiri di sana, menggelengkan kepalanya saat kami saling mengamati pergerakan satu sama lain. Aku tidak memalingkan pandangan darinya bahkan saat Bellatrix membakar rumah Hagrid.
Aku terlalu sibuk berharap, berdoa, Draco akan mengerti kenapa aku harus berada di sini.
Snape mengatakan sesuatu padanya, walau ia seperti tidak mendengarnya dan hanya berdiri di sana, bahkan tidak melirik profesor itu.
"Incarserus!" Harry berkata, bergerak mendekati Snape yang dengan mudahnya menangkis mantra itu. "Lawan!" Ia berteriak, tidak tau harus berbuat apa lagi. "Pengecut, lawan!"
Tidak ada satu pun dari kami yang melihat kedatangan Bellatrix, dan aku hanya menyadarinya setelah mendengar kekeh jeleknya di kegelapan malam ini, dan kakakku terbang beberapa meter ke belakang. Pergerakan itu membuatku mengalihkan pandangan dan berlari ke kakakku.
"Sialan, kau tidak apa-apa?" Aku bertanya, berusaha mencari titik di tubuhnya yang terluka. Wajah Harry meringis kesakitan, tangannya memegang bagian perutnya di mana mantra itu menyerangnya.
"Tidak apa-apa." Ia menggerutu, berusaha untuk bangkit berdiri.
"Tidak." Snape berkata. Kami sudah cukup dekat untuk bisa mendengarnya berbicara satu sama lain. "Dia milik Dark Lord!"
Bellatrix menghela napas, mulai mundur walau merasa tidak puas dengan jawaban itu. Kemudian, matanya mengarah padaku, sesuatu yang jahat tergambar di matanya.
"Dia bukan." Ia menyeringai, memperlihatkan giginya yang hancur seiring tongkat sihirnya mengarah padaku. Postur tubuh Snape dan Draco menegang, tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan apa pun; tau jika mereka membangkang yang di waktu yang salah, dan kabar itu sampai ke Lord, mereka akan tamat.
"Dan Dia akan senang jika memilikinya." Ia melanjutkan, tiba-tiba berada di belakangku dan tongkat sihirnya berada di pelipisku.
Napasku tercekat, dan ekspresi panik di wajahku saat aku melihat bolak-balik antara Harry dan Draco; satu di sebelah kiriku, satu di sebelah kananku setelah ia membawaku sedikit menjauh dari kakakku.
Harry terlihat siap untuk melakukan apa pun untuk melepaskanku dari genggamannya, dan sementara aku sangat menginginkan dia untuk melakukannya, kesempatannya untuk berhasil tidaklah tinggi.
Jadi, aku berharap ia akan mendengarkan permohonanku saat aku berkontak mata dengannya. Wajahnya terlihat kesal, tidak tau harus mengarahkan tongkatnya pada Snape, Bellatrix, atau Draco.
"Hati-hati, Potter," Bellatrix tertawa, mengarah pada tongkat di tangannya. "Sudah kehilangan kepala sekolahmu hari ini. Kau tidak mau menambahkan adikmu dalam daftar itu, kan?" Tongkat sihirnya menusuk bagian samping leherku, menjambak rambutku dengan tangan yang lainnya.
Caraku terkesiap membuatnya tertawa, menggelengkan kepala saat aku berusaha melepaskan diri.
Pandangan Harry beralih ke sebelah kiriku, ke arah Draco. Ia terlihat putus asa, ekspresinya meminta sesuatu yang aku tidak mengerti. Mungkin itu pandangan persetujuan. Aku tidak tau apa yan ia minta kepada si pirang tanpa mengatakan apa pun, tapi Draco terlihat mengerti.
Draco menatapku untuk beberapa saat sebelum mengangguk kecil ke arah Harry, sangat kecil bahkan aku hampir tidak menyadarinya. Dan kakakku terlihat lebih santai.
"Ayo bersenang-senang sedikit, bagaimana, Y/n?" Bellatrix berkata, menggunakan suara lugu yang terdengar kacau keluar dari mulutnya. "Kau ingat apa yang kau lakukan padaku terakhir kali kita bertemu, kan, sayang? Rasanya tidak sopan kalau aku tidak mengembalikan-"
"Cukup, Bellatrix." Suara Snape menggema, membuat penyihir di belakangku terdiam. "Bawa dia bersamamu. Kita akan membuatnya berguna, aku yakin."
"Tidak!" Harry berteriak kencang. "Kau tidak bisa melakukan itu, kau—" Aku dengan cepat berada di jarak yang cukup jauh untuk bisa mendengarnya; Bellatrix menyeretku menjauh, memastikan sudah mengambil tongkat sihirku.
"Draco, sayang. Tunggu apa lagi? Ayo." Ia berkata, menyadari si pirang itu berada beberapa meter di belakang kami. "Dia, ya?" Bellatrix bertanya, terhibur saat ia mendorongku lebih keras. "Dia membuatmu kesal ya? Aku tidak peka." Penyihir itu tertawa, sebelum mendorongku terjatuh di depannya.
"Bibi Bellatrix, itu tidak perlu—" Ia memulai, berusaha untuk bersuara tegas dan meyakinkan, walau suaranya mengkhianatinya. Toh bibinya juga tidak mendengarkannya.
Ia menyela keponakannya sebelum ia selesai berbicara, mata Draco terisi dengan kekhawatiran dan ketakutan saat ia menyaksikan mantra tanpa kata-kata terbang ke arahku.
Tapi aku tidak merasakan apa pun. Itu bukan mantra yang menyakitkan; hanya membuatku tidak sadar saat dunia di sekitarku berubah menjadi gelap.
Akhir tahun ke-6.
KAMU SEDANG MEMBACA
POTTER? || Draco Malfoy X Reader [BAHASA INDONESIA]
Fanfiction"Aku tidak tau kau punya adik, Potter" Original story bahasa Inggris oleh @Seselina [https://www.wattpad.com/story/241178840-potter-draco-malfoy-x-reader]