Y/n
Aku tidak mau kau sebut brengsek lagi karena tidak mengucapkan Selamat Natal, jadi aku menulis surat ini dengan cara paling aman.
Aku menganggap kau menghabiskan Natal dengan Inkwood lagi, jadi mungkin kau bisa menyampaikannya untuk Wren juga. Jika kau bersama keluarga Weasley, aku secara resmi menarik suratku, dan kau tidak boleh membaca lebih lanjut.
Oh ya, rasanya lega meninggalkan Hogwarts untuk beberapa saat. Kau lebih mengganggu akhir-akhir ini. Walau pun rasanya bohong jika aku berkata tidak merindukannya; Merindukanmu.
Mengetahui bagaimana kau, mungkin kau tidak menyadari beban lebih pada amplop itu. Lihatlah, bodoh.
Aku memutar mataku membaca baris akhir, meletakkan secarik kertas itu untuk mengambil amplop hitam yang sudah kuletakkan di meja di depanku. Seringai besar tergambar di wajahku sejak aku membaca kata pertama dari suratnya.
Aku membukanya dengan hati-hati, masih belum menggenggam benda kecil di dalamnya sebelum membalikkan amplop dan membiarkan beban lebih di dalamnya jatuh ke tanganku.
Aku meletakkan amplop kosong itu dan mengamati benda di telapak tanganku.
Cincin perak yang sangat indah, terlalu besar untuk jariku, tergantung di sebuah rantai perak. Aku mengambil kalung itu dengan tanganku yang lain, membuatnya tergantung untuk mengamatinya lebih jelas.
Aku memutarnya dan memainkan cincin itu dan melihat dua kristal kecil di tengahnya. Inisial D.M terukir di bagian dalam, walau sudah hampir tidak terlihat karena sudah mulai pudar seiring berjalannya waktu.
Aku menyimpan kalung itu di tanganku, menutup telapak tanganku untuk memastikan aku tidak akan menjatuhkannya, dan mengambil surat itu lagi.
Ibu memberikanku beberapa cincin baru sebagai kado Natal. Dia mau aku mengganti cincin lamaku. Jadi, menurutku cincin kesukaanku akan terlihat lebih bagus saat melingkari lehermu. Aku sudah memakainya bertahun-tahun, jadi tolong jangan hilang.
Jika bukan tanganku yang melingkari lehermu, setidaknya bagian dariku bisa menggantikannya mulai sekarang.
Selamat Natal,
- Draco M.
PS: Kalau kau tidak memakai ini saat kita bertemu di kereta, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.
Kurasa ini di luar kemampuan manusia normal, tapi senyumku semakin lebar saat aku membaca sisa suratnya.
Tiba-tiba, rasanya ruangan terasa panas, dingin yang kurasa tadi sudah jauh kulupakan saat aku membaca baris yang sama untuk berulang kali.
Jika bukan tanganku yang melingkari lehermu, setidaknya bagian dariku bisa menggantikannya mulai sekarang.
Apa itu yang ia suka? Tangannya di leherku? Aku menyeringai sedikit, tangan kosongku menampar pelan kedua pipiku untuk mendinginkannya. Jujur, tidak ada gunanya.
Perhatianku beralih ke tanganku yang tertutup, membukanya perlahan dan memperlihatkan kalungnya lagi. Dengan cepat aku membuka pengaitnya, memasangnya dan berusaha menutupnya lagi.
Saat kalung itu sudah menggantung sempurna di leherku, aku memainkan cincinnya. Memutar dan membaliknya lagi, mengamati kristalnya, sambil terus mengira-ngira apa yang membuatnya memberikannya padaku.
Lalu berpikir apa yang harus kuberikan padanya. Aku sempat lega karena tidak pernah lagi memikirkan tentang kado Natal, dan rasanya semua harus dimulai lagi.
Aku menghela napas, tanganku dengan lembut menggenggam cincin itu sambil menutup mata.
Aku terlarut dalam pikiranku, hampir tidak menyadari saat ada yang memasuki ruangan dan hanya membuka mata saat mereka duduk di sofa sebelahku.
"Apa ini?" George bertanya, menggodaku, memegang surat di tangannya dan dengan usil melambaikannya di depan wajahku, menarik tangannya kapan pun aku mencoba untuk meraihnya.
"Rahasia!" Aku mengerang, masih berusaha untuk meraihnya. Tapi kata rahasia malah semakin membuatnya semakin bersemangat seiring ia lompat lebih tinggi dan mulai membaca.
Fred menghilang dari sisiku dan segera muncul di sebelah saudaranya, ikut membaca.
Aku mengerang, kembali terjatuh ke sofa menutup wajah dengan kedua tanganku, menunggu mimpi buruk ini untuk selesai. Tidak mungkin aku mendapatkan surat itu dengan utuh jika aku berhasil memegangnya sekali pun, jadi aku menyerah.
"Ouch," Ia berkata bersamaan setelah beberapa detik, mungkin membaca paragraf kedua. Saat aku melirik mereka, masih ada ekspresi terhibur di wajah mereka.
Beberapa saat keheningan, Fred yang pertama bersorak "Oooh!" dan George mengikuti saat saudaranya setengah bersorak. "Nakal," salah satu dari mereka berkata sebelum mereka muncul di kedua sisiku lagi.
Salah satu dari mereka mengedipkan mata padaku, yang satunya menggerakkan alisnya naik turun. Aku mengerang lagi, mengambil bantal di belakangku dan mengubur wajahku ke dalamnya, berharap mereka berhenti.
"Ayolah, Y/n," Mereka menggoda, masih terhibur. "Kalian sudah sampai base tiga? Keren," Fred bertanya, menyikutku untuk menggangguku lebih jauh.
Aku menurunkan bantal untuk menatap mereka berdua; alisku mengangkat. "Tidak," aku berkata, menggelengkan kepala.
"Tidak?" George bertanya, terdengar terkejut dengan jawabanku.
"Base dua pun tidak." Aku mengangkat bahu sebelum menggelengkan kepala untuk menghentikan diriku melanjutkan obrolan ini. "Bukan urusan kalian juga!" Aku berkata, mengangkat tangan untuk membuat mereka diam kapan pun mereka mau membicarakan ini lagi. "Ganti topik atau aku pergi." Aku berkata, merampas surat dari tangan George dan melipatnya dan mengembalikannya ke dalam amplop.
"Baiklah." Mereka menghela napas, masih terhibur, sebelum membicarakan baju Ron di Yule Ball lagi. Topik itu pasti muncul setiap satu minggu sekali dan pastinya merupakan obrolan yang bisa kuterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
POTTER? || Draco Malfoy X Reader [BAHASA INDONESIA]
Fanfiction"Aku tidak tau kau punya adik, Potter" Original story bahasa Inggris oleh @Seselina [https://www.wattpad.com/story/241178840-potter-draco-malfoy-x-reader]