107

82 10 1
                                    

Aku mengabaikan ketukan pintu satu jam kemudian seperti aku mengabaikannya lagi keesokan paginya.

Aku tau itu Draco. Siapa lagi yang akan mengetuk pintu seorang sandera?

Alasanku tidak membukanya adalah aku tidak ingin melihatnya. Bukan karena aku takut, atau marah, atau terganggu.

Menurutku tidak akan ada untungnya untuk siapa pun jika ia melihat garisan berdarah pada setengah wajahku. Yang dibuat oleh Voldemort, dari semua orang.

Rasanya itu masih membakar kulitku beberapa jam kemudian, dan aku hanya berharap aku tidak akan terkena infeksi. Walau melihat dari kuku tangannya, rasanya tidak mungkin.

Mengingat aku tidak bisa menggunakan sihir sama sekali; aku benar-benar dan sepenuhnya tidak berdaya untuk proses penyembuhan. Dan aku berpikir bagaimana para muggle memiliki kesabaran hingga tubuh mereka sembuh dengan sendirinya. Rasanya menyebalkan.

Dua hari sudah berlalu, dan walau luka itu sudah tidak terlalu sakit sekarang, tapi masih terlihat jelas. Dan aku tidak mau Draco melihatnya.

Walau, di sisi lain, aku sangat ingin dia melihatnya.

Aku menghela napas saat mendengar ketukan kencang dan memaksa, sangat berbeda dari para peri rumah. Peri rumah mengetuk dengan lembut, dan sopan; membuatku mudah untuk mengenalinya saat mereka membawakanku makanan.

Walau, kalu ini, kata-kata menemani ketukan Draco. Untuk yang pertama kalinya.

"Kau marah padaku?"

Aku menghela napas mendengarnya, merasakan rasa bersalah terbentuk pada diriku.

"Maaf kita bertengkar kemarin. Aku hanya—" Ia menyela dirinya dengan menghela napas, dan aku mengerutkan alis saat keheningan itu terbentuk di balik pintu.

Draco Malfoy, minta maaf?

"Draco," Aku memulai, rasa bersalah kembali muncul. "Aku tidak marah padamu, janji."

"Lalu kenapa kau berbicara di balik dinding?" Ia bertanya, suaranya kesal dan putus asa. Aku membayangkan alisnya yang mengerut saat ia berbicara.

Tanganku secara otomatis meraih pipiku yang terluka, dan meringis saat rasa sakit itu muncul lagi. Walau perlahan hilang saat aku melepasnya.

Aku mengamati ruangan, sadar bahwa aku harus membiarkannya masuk jika aku tidak mau rasa bersalah ini membunuhku hidup-hidup malam ini.

Aku sudah berada di tempat tidur, maka aku memutuskan untuk masuk ke dalam selimut dan menutup pipiku dengan bantal.

"Masuklah, aku yakin kau masih punya tongkat sihir untuk membuka pintu." Aku menyerah, dan sesaat setelah kata-kata itu keluar dari mulutku, aku mendengar pintu terbuka dan tertutup lagi.

Pria itu berdiri di sebelah tempat tidur sebelum aku bisa mencernanya, memberiku tatapan aneh saat ia menghadapku.

"Sudah tidak bisa melalui dua hari tanpaku, ya?" Aku mengejek berharap bisa mengalihkannya dari posisi anehku. Kelihatannya berhasil, untuk saat ini, saat ia mendengus dan memutar matanya.

"Astaga, aku lupa kau menyebalkan." Ia bercanda, menggelengkan kepala saat ia duduk di tempat tidur di sebelahku, pandangannya fokus pada jendela.

"Jelas tidak terlalu menyebalkan jika kau datang ke sini dan minta maaf. Tidak pernah sekali pun terbayang aku akan hidup pada hari di mana kau dengan tulus melakukan itu. Terutama untuk hal yang bukan salahmu." Tawa kecil menemani kalimatku, dan aku melihatnya mengalihkan pandangannya padaku dengan ekspresi terhibur, kedua alisnya terangkat.

"Aku lupa betapa aku membencimu." Ia tertawa. "Kau tau kata orang; ketiadaan membuat hati semakin cinta, atau apalah."

Aku mendengus mendengarnya, kali ini giliranku untuk memutar mata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

POTTER? || Draco Malfoy X Reader [BAHASA INDONESIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang