16

301 37 1
                                    

Aku sedang dalam perjalanan menuju kelas terakhir minggu ini mengikuti beberapa siswa lainnya menyusuri koridor ramai menuju ruang kelas mantra. Kami akan bergabung dengan para Gryffindor, dan meskipun biasanya aku senang dengan hal itu, dalam situasi saat ini yang kurasakan justru sebaliknya.

Harry belum mengatakan sepatah kata pun kepadaku sejak pertengkaran kami di akhir pekan. Dan meskipun aku kecewa ia tidak memberitahuku betapa frustasinya melihat adik perempuannya yang berharga menghabiskan waktu bersama Malfoy, aku tau ia merasakan hal itu hanya dari caranya menatapku.

Hanya tinggal beberapa hari lagi dari titik puncaknya dan begitu Harry mencapai titik puncaknya, aku tau ia akan mengatasi egonya dan meminta maaf agar aku berhenti berada di dekat Malfoy.

Yang mengejutkanku, bagian itu ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Malfoy masih menjadi manusia yang sangat menyebalkan, jangan salah paham. Tapi aku tidak tau ternyata ia bisa melucu.

Omong-omong, mataku tertuju pada si pirang segera setelah aku berbelok di tikungan terakhir sebelum tujuanku. Ia berjalan ke arah berlawanan, ekspresi dingin alaminya menghadap ke arahku.

Matanya tertuju pada sesuatu di belakangku dan seringai muncul di wajahnya ketika ia menatapku setelahnya. Aku mengangkat alis dengan bingung, tidak yakin mengapa ia menyeringai begitu.

Dalam sekejap ia meraih pinggangku dan dengan sigap mendorongku ke salah satu ruangan di sebelah kananku. Dengan gerakan halus lainnya ia menutup pintu di belakangnya.

Satu tangannya masih di pinggangku, ia meraih tongkat di sakunya dan dengan cepat mengunci pintu dengan mantra sederhana.

Aku memandangnya, alisku berkerut kebingungan saat ia berbalik ke arahku dengan senyuman sempurna di wajahnya. "Potter. Di belakangmu," hanya itu yang ia ucapkan, tapi itu cukup bagiku untuk memahaminya

Wajahku rileks dan aku memberinya senyuman terkesan. "Otakmu cepat," aku mengakui.

Guncangan seseorang yang mencoba membuka pintu yang baru saja dikunci Malfoy membuatnya melepaskan sisa tangannya di pinggangku. "Sekarang sisanya terserah imajinasi mereka, kurasa," bisik Malfoy, memastikan mereka tidak mendengarnya dari balik pintu.

Harry dan Ron di sisi lain tidak begitu berhati-hati tentang hal itu. "Tidakkah menurutmu ia terlihat terpaksa, Ron? Kita harus menghentikan mereka," bisik kakakku dengan marah.

"Entahlah Harry, apapun yang terjadi di dalam sana aku yakin kau tidak ingin melihatnya." Ron berkata ragu-ragu, ada nada jijik dalam suaranya. Erangan keras terdengar dari Harry sebelum hening. Aku hanya berasumsi mereka melanjutkan jalan mereka.

Sementara itu, Malfoy dan aku sama-sama bersandar di salah satu meja, menghadap pintu. Kami berdua kesulitan menahan tawa, tapi tawa itu pecah begitu kami yakin mereka sudah pergi.

"Luar biasa," kataku sambil menyeka air mata yang lolos. Seluruh wajahku memerah karena kekurangan udara, begitu pula wajah Malfoy.

Siapa sangka itu adalah pemandangan yang baru aku lihat.

"Oke, sekarang mari kita buat ini terlihat sedikit lebih menarik," kata anak laki-laki itu sebelum tangannya dengan cepat mengacak-acak rambut (y/h/c)ku.

Yah, menurutku pipi yang memerah itu cocok dengan figurnya.

Tangannya lalu menyisir rambutnya sendiri, yang akhirnya tergerai berantakan di depan matanya. Ia melepas blazernya, menggantungkannya di lengannya dan dengan pandangan terakhir ke arahku, membuka pintu.

Ia pergi dengan tergesa-gesa, tidak repot-repot berjalan sepanjang perjalanan menuju kelas bersamaku.

"Kau terlihat berantakan," kata Wren sambil menatapku dari atas ke bawah begitu aku duduk di sebelahnya. Dengan senyuman di bibirku, aku menunjuk ke arah Harry.

"Semuanya untuk kakakku tersayang," aku tertawa sebelum mataku tertuju pada Malfoy.

Ia mengikuti pandanganku dengan salah satu alisnya terangkat, tidak yakin harus memikirkan apa tentang situasinya. "Itu tidak berlebihan?" ia bertanya dengan sedikit nada khawatir dalam suaranya tapi aku hanya menggelengkan kepalaku.

"Selama tidak terjadi apa-apa."

Anggap saja aku lelah menunggu titik puncaknya Harry dan ini jelas merupakan dorongan besar ke arah itu. Lagipula, permintaan maafnya sudah lama tertunda.

Satu-satunya hal yang tidak kutambahkan ketika aku membuat rencana ini adalah murid-murid lain yang, sama seperti Harry, jelas-jelas yakin bahwa Malfoy dan aku ada apa-apa.

Aku tidak bisa menyalahkan mereka, dan setelah Harry memberitauku bahwa rumor itu sudah beredar, apa bedanya?

Tapi aku tidak menyangka tatapan, bisikan, dan otoritas yang tiba-tiba kurasakan saat aku berjalan melewati sekolah, semua orang menyingkir dari hadapanku alih-alih menungguku bergeser.

Apa yang aku harapkan adalah perilaku Parkinson. Ia terus menempel pada Malfoy setiap menit senggang yang mereka punya, mencoba yang terbaik untuk mendapatkan perhatiannya dan melontarkan tatapan mematikan padaku.

Wren dan aku baru saja meninggalkan kelas ketika Parkinson berlari di sampingku.

"Permainan apa yang ada di otakmu, Potter?" Ia mendesis. Pandangannya marah dan wajahnya sedikit merah. Ia tampak seperti akan meledak.

Kami terus berjalan, Parkinson tidak menghentikan kami untuk menuju salah satu halaman yang kami rencanakan untuk tempati hingga tiba waktunya makan malam. Tapi ia mengikuti langkah kami, matanya berkerut karena marah. aku menghela napas.

"Menurutku itu bukan urusanmu, Parkinson."

"Oh, ya?" katanya, suaranya mengancam. Aku dengan sugestif mengangkat alis, menunggunya melanjutkan. "Yah, semua orang tahu Draco dan aku cukup sering berkencan."

Aku berencana untuk memasang ekspresi kosong di wajahku sepanjang percakapan ini tetapi aku terpecah ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya. Senyuman geli terbentuk di bibirku dan aku bertukar pandangan sekilas dengan Wren, yang sepertinya juga mengalami masalah yang sama.

"Semua orang tau kau menginginkan hal itu terjadi," aku mengoreksinya sambil tertawa.

Dengan agresif ia mengeluarkan tongkatnya, memainkannya sebentar sebelum bisa memegangnya dengan benar. Ia mendekatkannya ke arahku, lengannya terentang berusaha terlihat sama mengancamnya dengan suaranya.

"Kau akan menyesalinya," Suaranya memekik ke seluruh halaman dan aku meringis mendengarnya.

Aku tidak terintimidasi oleh penampilannya dan itu hanya membuatnya semakin jengkel. Aku tau ia tidak akan benar-benar melakukannya. Ia belum menjadi kembaran persis Malfoy.

Namun, jika ia terus bergantung pada Malfoy, mungkin suatu saat bisa.

"Pansy!" Sebuah suara tegas berkata dari belakangku dan ketika aku berbalik aku bertemu dengan Malfoy yang menyerbu ke arah kami. "Apa yang sedang kau lakukan?"

"Oh, Draco," katanya, suaranya tiba-tiba manis dan polos. Aku memutar mataku. "Y/n dan aku hanya ngobrol."

Ia mengangkat alisnya, matanya bolak-balik antara gadis itu dan tongkatnya yang terangkat menunjuk ke arahku. Pansy segera menurunkannya saat ia mengikuti pandangannya dan memberinya senyuman. "Kami benar-benar tidak bisa kehilangan poin asrama lagi karena dendam pribadimu dengan Potter," katanya, suaranya penuh dengan kekesalan. "Aku akan menemuimu di ruang rekreasi pukul sepuluh."

Ia tersenyum dan pergi menuju ruang bawah tanah. Begitu ia berada di belakang Malfoy, ia berbalik sambil menyeringai dan mengedipkan mata padaku sebelum menghilang kembali ke dalam kastil.

Seringai muncul di wajahnya begitu gadis itu pergi dan sepertinya ia menahan tawa. "Kau membiarkan dirimu berada dalam situasi seperti itu karena Parkinson?" Ia berkata sambil menggelengkan kepalanya karena tidak percaya sementara seringai terbentuk di wajahnya.

"Sekadar informasi, aku baik-baik saja tanpa bantuanmu," kataku acuh. "Aku benar-benar tidak membutuhkannya."

Ia memutar matanya, masih tersenyum dan kemudian menghilang ke arah yang sama dengan Parkinson.

POTTER? || Draco Malfoy X Reader [BAHASA INDONESIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang