Part 24. Dua Nama

342 63 11
                                    

"Kalian kayak friendzone-an njir!" seru Elin setelah mendengar cerita dari Lucy tentang dirinya yang menghabiskan waktu bersama Jeha.

"Niat gue cuma mau bikin dia chill. Hujatannya parah banget sampai gue harus report berkali-kali."

"Emang, tapi Jeha nggak mau ambil tindakan serius, kan? Yaudah, biarin aja. Lo terlalu khawatir sama dia."

"Ya gimana nggak khawatir orang waktu itu dia sampai sedown itu pas pertama kali kespill identitasnya."

"Kalau yang identitas itu jelas beda, tapi sekarang jan dia udah mulai santai. Naka juga nggak direpotin."

"Ngomong-ngomong soal Naka, kalian udah balikan?" Lucy malah salah fokus.

"Ck, dia nggak mau gue putusin."

Lucy nyengir. "Yaelah. Makanya kalau saling sayang tuh nggak usah sok-sokan putus. Putus setelah menjalin hubungan lama tuh bakal berat banget."

"Wah, suhu berbicara."

Agak menyedihkan dipanggil suhu sementara dulu Lucy menghabiskan waktu seminggu untuk menangisi Jordan selepas putus. Namun, Lucy tidak membantah omongan Elin. Bisa melupakan Jordan adalah pencapaian yang sangat membanggakan bagi Lucy. Walaupun ya begitulah.

"Tapi bener deh, Lin. Menurut gue, kalian udah cocok untuk terus bersama. Jadi, gue pengen lihat lo sama Naka endgame kayak Arin dan Luki."

Elin mendecak. "Lo sendiri kapan? Gue lihat lo lempeng aja tuh sama Jeha."

"Ada kemajuan tuh kalau Jeha juga naksir gue. Sejauh ini nggak ada tuh omongan romantis di antara kami berdua."

"Agak dipaksa coba."

Lucy membuang napasnya. "Terakhir kali gue maksa Jordan, endingnya nggak baik."

"Jeha bukan Jordan. Meski agak nyelekit omongannya, Jeha lebih ijo daripada Jordan. Cuman ya lo tahu sendiri lah Jeha gengsinya setinggi Jaya Wijaya."

"Masih Jaya Wijaya, belum Himalaya."

"Ck, apasih lo."

Lucy nyengir garing. Dia lanjut meletakkan kepalanya di meja dengan hela napas berat. "Gue bingung. Tiap kali gue dekat sama dia, gue merasa tenang sekaligus senang. Tapi jujur, gue nggak tahu gimana point of view Jeha. Dari lagaknya, gue berasumsi dia selalu anggap gue sama kayak lo."

Sambil menyedot esnya, Elin bertanya. "Sama gimana?"

"Teman dia. Teman yang menurut dia layak buat nemenin dia menghabiskan waktu. Dia nggak anggap gue lebih dari itu. Kalau nggak sengaja sentuhan tangan aja cuma gue yang salting. Wajah dia biasa aja."

"Ya elah, macam kisah anak kuliahan."

Lucy mendecak. "Lebih cocok anak SMA sih."

Elin lantas tertawa. "Tapi sumpah deh, gue masih nggak nyangka Jeha sesusah itu. I mean, siapa aja tuh pasti bakal punya rasa sama orang yang sering bersama setidaknya dikit nggak, sih? Tapi dari cerita lo kok kayaknya Jeha murni lihat lo sebagai teman ceweknya, ya. Padahal dulu gue optimis kisah lo bakal mulus karena sering bareng, eh makin ke sini makin diperjelas aja kalau Jeha sesusah itu buat balik suka sama lo. Atau emang lo nggak tahu aja sih, Lu?"

"Gue cukup peka kok dan sejauh ini di biasa aja."

"Astaga dragon."

"Menyedihkan, kan?"

"Itulah yang gue maksud friendzone tadi."

Lucy makin lemes. "Jadi pengen nyerah."

"Lo yakin?"

Romantic Sequence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang