Pondok

20 2 0
                                    

Hari pertama El di pondok pesantren adalah salah satu momen yang tidak akan pernah ia lupakan. Ia tiba di sana bersama ayahnya, diantar dengan mobil keluarga yang sederhana. Di luar, langit mendung menambah rasa gugup yang sudah sejak pagi merayap dalam dadanya. Saat mobil berhenti di depan gerbang pesantren, jantung El berdegup lebih kencang.

"Sudah siap, Nak?" tanya ayahnya sambil menepuk bahunya dengan lembut. El hanya mengangguk, meskipun kenyataannya, perasaannya bergejolak antara takut dan tidak siap menghadapi dunia yang baru ini.

Gerbang besar dari besi berkarat itu tampak seakan menjadi pintu masuk menuju kehidupan yang benar-benar berbeda. Di dalam, tampak para santri berseragam putih-putih berjalan cepat menuju masjid, sementara sebagian lainnya terlihat di kelas atau di halaman luas pondok. Suasana terasa begitu disiplin dan asing bagi El, yang terbiasa dengan lingkungan sekolah umum.

Ketika mereka masuk ke kantor administrasi, seorang ustadz dengan wajah ramah menyambut mereka. "Selamat datang, El. Ayahmu sudah cerita banyak tentang antum," ucapnya dengan senyum lembut. "Insya Allah, di sini kamu akan belajar banyak hal. Jangan khawatir, hari-hari pertama memang akan terasa berat, tapi lama-lama antum akan terbiasa."

Setelah beberapa formalitas, ayah El harus segera kembali bekerja. El berdiri di depan asrama bersama ustadz, menatap punggung ayahnya yang semakin menjauh. Ada rasa sesak di dadanya, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya, menahan emosi. Ia belum pernah jauh dari rumah, apalagi tinggal di tempat yang begitu asing.

"Jangan sedih, El. Semua anak di sini merasakan hal yang sama di awal," ujar ustadz sambil menepuk bahunya. "Mari, ana antar kamu ke kamarmu."

El mengikuti ustadz menuju asrama. Kamar asrama itu sederhana, dengan tempat tidur susun dan lemari kayu yang sudah terlihat usang. Di sana, beberapa anak lain sedang membereskan barang-barang mereka. Salah satu di antaranya, seorang anak yang tampak ramah dengan wajah cerah, menghampiri El.

"Eh, baru datang ya? Ana Fikri," kata anak itu sambil mengulurkan tangan.

El menerima uluran tangan Fikri dengan canggung. "El," jawabnya singkat.

"Jangan khawatir, nanti lama-lama pasti terbiasa. Ana juga dulu kaget pas pertama kali datang," ujar Fikri sambil tersenyum. "Kalau butuh bantuan, bilang aja."

Hari itu berlalu dengan cepat. Setelah menata barang-barangnya, El langsung ikut dalam rutinitas pondok: sholat berjamaah, makan bersama di ruang makan besar, dan pengajian malam di masjid. Namun, meskipun hari itu dipenuhi dengan kegiatan, El merasa kesepian di antara kerumunan orang. Malam tiba, dan ketika para santri lain sudah tertidur, El masih terjaga di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar asrama yang gelap.

"Ana bisa nggak ya, bertahan di sini?" pikirnya dalam hati. Keraguan menyelimuti dirinya. Semua terasa baru, asing, dan jauh dari kenyamanan yang ia kenal.

Namun, di tengah malam yang sunyi, suara Fikri dari ranjang sebelah memecah keheningan. "Antum nggak sendiri, El. Kita semua di sini belajar bareng-bareng. Nggak apa-apa kalau antum takut atau rindu rumah. Itu wajar."

El terdiam, terkejut mendengar Fikri berbicara dengan begitu lembut. Dalam kegelapan, tanpa banyak kata, Fikri memberinya kekuatan yang tidak ia sadari ia butuhkan.

Hari pertama El di pondok tidak mudah. Namun, malam itu, ia mulai mengerti bahwa ia tidak sendirian. Ada orang-orang yang akan berjalan bersamanya dalam perjalanan panjang ini, menghadapi tantangan demi tantangan, bersama-sama.

Waktu berjalan cepat setelah hari pertama El di pondok pesantren. Dalam beberapa bulan, ia mulai terbiasa dengan rutinitas yang awalnya terasa berat. Bangun sebelum subuh, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, belajar fiqih, bahasa Arab, hingga sorogan di siang hari—semuanya mulai terasa seperti bagian dari kesehariannya. El bahkan merasa mulai menemukan kenyamanan di tengah ketatnya disiplin pesantren.

Never Flat Where stories live. Discover now