Abu-abu

6 1 0
                                    

Pagi itu, El dan Nana menaiki angkot dari kota Subang menuju Kasomalang. Jalanan yang berkelok dan suasana pedesaan mengiringi perjalanan mereka. Pondok tempat El menuntut ilmu dulu kini tinggal berjarak beberapa kilometer lagi.

Di dalam angkot, Nana melirik El yang tampak resah. “El, lo yakin nggak apa-apa balik ke sana?”

El memandang jendela, menyaksikan pepohonan yang terus berlalu. “Jujur aja, gua nggak mau balik, Na. Lo tahu sendiri gimana gua keluar dari sana. Tapi gua butuh ijazah ini buat kuliah,” ucapnya dengan nada berat.

Nana mengangguk, meskipun dia tidak pernah satu pondok dengan El, dia tahu betapa beratnya pengalaman El. Dia hanya mendengar cerita El, tentang fitnah yang membuat semua orang di pondok menjauhinya. "Gua ngerti, El. Tapi lo nggak sendirian. Gua di sini."

Setelah perjalanan sekitar 30 menit, mereka sampai di depan gerbang pondok. El menghentikan langkahnya sesaat, menatap gerbang besar yang seolah menjadi penghalang antara dirinya dan masa lalunya yang kelam.

Nana berjalan di sampingnya, mencoba menyemangati. “Ayo, El. Ambil ijazahnya, terus kita cabut.”

El menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk ke area pondok. Tempat itu masih terasa sama, tapi ada perasaan dingin yang merayap ke dalam dirinya. Nana, yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pondok itu, merasa sedikit canggung melihat banyak santri berlalu-lalang, sebagian dari mereka memperhatikan El dengan tatapan penasaran.

“El, udah lama juga ya lo di sini? Gua nggak pernah bayangin gimana pondok itu,” ucap Nana, mencoba mengalihkan pikiran El.

“Dua setengah  tahun, Na. Tapi rasanya kayak lebih lama,” jawab El dengan lirih.

Mereka tiba di kantor administrasi. Seorang ustadz muda yang baru mengurus pengambilan ijazah. El menyerahkan surat pengambilan, lalu menunggu dengan gelisah. Petugas itu tersenyum ramah, tidak menunjukkan tanda-tanda mengenal masalah El dulu. “Ijazahnya sudah siap. Silakan dicek dulu,” katanya sambil memberikan map cokelat itu.

El menerima map itu, membukanya sekilas. Hatinya campur aduk, antara lega karena akhirnya mendapatkan ijazah, dan perasaan tidak nyaman yang masih mengikutinya dari masa lalu. “Terima kasih, Pak,” ucap El dengan sopan.

Saat mereka keluar dari kantor administrasi, Nana memperhatikan perubahan di wajah El. “Lo baik-baik aja?”

El mengangguk pelan. “Gua udah dapat yang gua butuh. Tapi gua nggak bisa lama-lama di sini. Banyak kenangan yang gua nggak mau ingat lagi.”

Nana menepuk bahu El. “Ya udah, kita cabut sekarang.”

Namun, sebelum mereka sempat keluar dari gerbang, seseorang dari masa lalu El tiba-tiba muncul—teman lama yang dulu ikut menjauhinya. Teman itu memandang El dengan wajah kaget dan sedikit bersalah. “El... gua nggak nyangka lo balik ke sini.”

El menatapnya dengan ekspresi datar. “Gua cuma ambil ijazah. Udah itu aja.”

Tanpa banyak bicara lagi, El dan Nana berjalan cepat meninggalkan pondok. Setelah mereka keluar dari gerbang, El akhirnya merasa sedikit lebih ringan.

“Rasanya aneh, ya. Gua kira gua bakal marah atau apa, tapi sekarang gua cuma pengen cepet-cepet pergi dari sini,” kata El, menghela napas panjang.

Never Flat Where stories live. Discover now