Keesokan paginya, matahari baru saja mulai menyinari kota Bandung. El terbangun dengan suara burung berkicau di luar jendela. Hari itu terasa berbeda, mungkin karena ia tahu bahwa sore nanti akan menjadi momen penting—les terakhir bersama murid-muridnya.
Setelah merapikan tempat tidur dan mandi, El bersiap untuk keluar. Ia mengenakan kaos sederhana dan celana jeans, siap untuk membantu Enin, di warung. Pagi itu, Enin sudah meminta bantuannya untuk beres-beres karena ada sedikit renovasi yang akan dilakukan.
El tiba di warung Enin pagi itu, langsung disambut dengan senyum hangat Enin yang sudah menunggunya.
"Eh, El, kamu udah datang. Ayo, bantuin Enin beresin warung ini, ya. Kita mau pindahin barang-barang dulu.""Iya, Enin. Apa aja yang harus dipindahin?"
El mulai memindahkan barang-barang di rak, sementara Enin memberi instruksi dari samping.
"Kita mau ganti papan di dinding sebelah sana. Kayunya udah mulai lapuk, jadi biar warung ini kelihatan lebih rapi."
"Ya, udah lama juga ya, Enin. Kayunya memang udah waktunya diganti."
Sambil bekerja, mereka berbincang tentang berbagai hal.
"El, sore nanti kamu ada acara apa?"
"Sore nanti aku ada les terakhir, Enin. Mau pamitan sama anak-anak. Abis itu aku gak ngajar lagi."
"Oh, iya. Enin ingat kamu pernah cerita. Sedih gak, El, ninggalin murid-murid?"
"Sedih, Enin. Mereka udah kayak keluarga. Tapi ya gimana lagi, waktunya udah habis."
"Kamu udah ngasih yang terbaik buat mereka, El. Pasti mereka bakal selalu ingat sama kamu."
Renovasi pun mulai, dengan tukang yang datang membawa peralatan. El masih terus membantu, sementara Enin mengawasi dari bangku kecil di depan warung.
"Enin, kita tunggu di sini aja, ya? Biar tukangnya kerja lebih leluasa.""Iya, El. Duduk sini dulu. Kita ngobrol bentar."
Mereka duduk di depan warung, menikmati suasana pagi yang sibuk dengan pelanggan yang masih datang meski warung sedikit berantakan.
"El, kamu udah siap lulus? Gimana perasaanmu?"
"Siap gak siap, Enin. Kadang aku mikir, abis ini gimana ya? Tapi ya, harus jalan terus."
"Begitulah hidup, El. Kita gak pernah tahu pasti ke depannya gimana. Yang penting kamu jalanin dengan ikhlas."
"Iya, Enin. Aku bersyukur punya Enin yang selalu ngasih nasehat."
Mereka tertawa bersama, menikmati kebersamaan itu. Percakapan dengan Enin selalu memberi El ketenangan dan pandangan hidup yang lebih luas.
Setelah beberapa jam membantu di warung, El merasa puas dengan progres renovasi yang berjalan lancar.
"Enin, aku balik dulu ya. Sore nanti aku harus ngajar, abis itu aku mampir lagi ke sini, kalo sempat."
"Iya, El. Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang dulu sebelum berangkat."
"Iya, Enin. Makasih ya."
Dengan langkah ringan, El berjalan pulang, bersiap menghadapi hari yang akan menjadi kenangan penting dalam hidupnya.
***
Setelah membantu Enin di warung, El pulang sebentar ke rumah untuk bersih-bersih dan makan siang. Selesai istirahat, ia segera berangkat ke kampus untuk latihan band. Hari itu, mereka memiliki jadwal penting untuk mempersiapkan penampilan di acara kelulusan yang tinggal menghitung hari.

YOU ARE READING
Never Flat
General Fiction"Dalam putaran waktu yang tak terhitung. Kita melangkah dalam harap dan ragu. Layaknya angin yang datang dan berlalu. Kehidupan itu berbisik; teruslah berjalan walau tak tahu."