Hilang 2

2 0 0
                                    

Saat orang tua Rama tiba di rumah sakit, suasana yang sudah penuh dengan kesedihan semakin mencekam. Ibu Rama yang baru saja memasuki ruang tunggu langsung terjatuh ke lantai, menangis histeris dengan suara yang melolong penuh keputusasaan. Tangisannya menggema di seluruh ruangan, menyayat hati setiap orang yang mendengarnya. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar saat dia berlari menuju meja resepsionis, mencari informasi tentang anaknya yang baru saja meninggal.

“Apa yang terjadi dengan anak saya?! Kenapa dia bisa seperti ini?!” teriak ibunya dengan suara penuh amarah dan kebingungan. Air mata tak henti-hentinya mengalir, bercampur dengan rasa sakit yang tak bisa dibendung.

Ayah Rama berdiri di sampingnya, mencoba menenangkan, meski wajahnya terlihat sangat terpukul. “Tenang, Bu. Tenang… Kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai kita buat keributan di sini.” Ayahnya mencoba merangkul istrinya, meski ia sendiri tampak tak jauh lebih tenang. Di matanya, ada kesedihan yang sangat mendalam, seolah-olah dunia mereka runtuh seketika.

El dan teman-temannya hanya bisa terdiam saat melihat ibu Rama begitu hancur. Rasanya sulit untuk melihat orang yang kita cintai merasakan rasa sakit yang begitu dalam. El merasakan dadanya terhimpit, mengetahui bahwa dia harus menghadapi kenyataan pahit ini dengan orang tua Rama di depan mereka.

Setelah beberapa saat, ayah Rama menoleh ke arah El dan teman-temannya yang berdiri di sudut ruangan. “Kalian… anak-anak yang bersamanya?” tanya ayah Rama dengan suara yang tegas namun penuh kesedihan.

El mengangguk perlahan. “Iya, Pak. Kami semua ada di sana,” jawabnya dengan suara yang serak, merasa tertekan di hadapan orang tua Rama yang jelas tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi.

“Ceritakan dengan jujur. Apa yang sebenarnya terjadi?” ayah Rama meminta penjelasan, suaranya mulai terdengar sedikit lebih lembut, meskipun ada perasaan marah yang jelas terlihat di wajahnya.

Dengan berat hati, El mulai menceritakan kronologi kejadian. “Kami semua lagi nongkrong di Warlem, seperti biasa. Tiba-tiba anak-anak Boys Crew datang dan mulai melempar batu ke warung kami. Beberapa batu mengenai kepala kami, termasuk Rama. Kami merasa diprovokasi dan memutuskan untuk mengejar mereka.”

“Setelah itu, mereka bawa kami ke tempat sepi, Pak… Itu jebakan,” lanjut Adit, menambahkan penjelasan. “Mereka mulai serang kami dengan senjata tajam. Kami sempat coba melawan, tapi jumlah mereka jauh lebih banyak. Rama… dia kena tusukan di perut. Kami bawa dia ke rumah sakit, tapi… kami terlambat.” Adit menundukkan kepala, tak mampu melanjutkan kata-katanya karena kesedihan yang sama.

Ibu Rama yang mendengar penjelasan itu semakin histeris, menjerit seakan tidak menerima kenyataan yang baru saja disampaikan. “Anak saya dibunuh begitu saja?!” teriaknya, tubuhnya gemetar hebat.

Ayah Rama berusaha menenangkan istrinya, tapi matanya sudah tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marah. "Kami sudah berusaha sebaik mungkin," El menambahkan, "Kami tidak mau ini terjadi. Kami juga sangat menyesal, Pak, Ibu."

Suasana menjadi semakin berat. El merasakan beban yang semakin menekan dirinya, namun ia tahu bahwa inilah saatnya untuk menghadapi kenyataan dan memberi penghormatan terakhir pada sahabat yang telah pergi.

Di tengah kepanikan dan kesedihan yang mendalam, El tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia berlutut di lantai, menundukkan kepala, dan terus meminta maaf dengan suara terbata-bata. "Maafkan saya, Pak, Bu... Saya gak bisa selamatin Rama. Saya... saya gagal," ucapnya sambil menangis, suaranya penuh penyesalan.

Ibunya Rama, yang masih tidak bisa menerima kenyataan, menatap El dengan tatapan penuh kemarahan dan kebingungannya. "Kalian semua... kalian semua ada di sana, tapi tetap saja dia pergi!" teriak ibu Rama, air matanya tak henti mengalir. "Kenapa kalian gak bisa melindungi anak saya?" tanyanya, suaranya penuh penderitaan.

Never Flat Where stories live. Discover now