Waktu kembali berputar ke masa SMA, saat El dan Nana baru saja naik ke kelas XI. Ini adalah momen penting di mana siswa harus memilih jurusan yang akan menentukan arah pendidikan mereka ke depan. Hari itu, sekolah dipenuhi dengan obrolan siswa-siswi yang membahas pilihan jurusan dan harapan mereka.
Di bawah pohon rindang di sudut sekolah, El dan Nana duduk bersama, berbincang santai setelah jam pelajaran.
"El, lo udah mutusin mau masuk jurusan apa?"
"Iya, Na. Gue udah mutusin buat masuk IPS. Gue milih Sosiologi dan Inggris Tingkat Lanjut."
"Wah, keren. Lo memang jago di bahasa Inggris. Gue gak heran lo pilih itu.""Iya, gue pengen ngembangin kemampuan gue di bahasa Inggris. Terus, Sosiologi juga menarik, gue pengen belajar lebih banyak tentang masyarakat."
"Lo pasti bakal enjoy di IPS. Gue sendiri milih IPA, khususnya Biologi."
"Biologi? Pantesan lo sering cerita soal suka banget sama pelajaran itu."
"Iya, gue emang suka Biologi. Gue pengen jadi dokter atau peneliti di bidang medis."
El tersenyum, mengagumi tekad Nana yang begitu kuat.
"Gue yakin lo bakal sukses, Na. Lo punya passion yang kuat di sana."
"Thanks, El. Gue juga yakin lo bakal sukses di IPS. Meski kita beda jurusan, gue harap kita tetap bisa saling dukung."
"Pasti, Na. Beda jurusan gak akan ngubah persahabatan kita. Kita tetap bisa bareng pas istirahat, pulang sekolah, atau belajar bareng kalau perlu."
"Setuju. Kita saling bantu, ya?"
"Siap!"
Mereka saling tersenyum, merasa lega telah membuat keputusan penting itu. Meskipun jurusan yang mereka pilih berbeda, mereka yakin persahabatan mereka tidak akan tergoyahkan.
Hari pengumuman kelas berdasarkan jurusan yang dipilih tiba. El dan Nana berdesakan di depan papan pengumuman bersama siswa-siswi lainnya. Kegelisahan terlihat di wajah mereka, meski mereka berusaha tetap tenang.
"Na, ayo kita cek."
Mereka mulai mencari nama masing-masing di daftar kelas. El menemukan namanya di kelas XI IPS 1.
"Na, gue di XI IPS 1."
"Oke. Gue cek kelas IPA."Nana melanjutkan pencarian namanya dan akhirnya menemukan dirinya di XI IPA 2.
"El, gue di XI IPA 2.""Wah, beda kelas lagi, Na."
"Iya, tapi gak apa-apa. Kita tetap bisa ketemu pas istirahat atau pulang sekolah."
"Betul. Gue yakin kita masih sering ketemu."
Mereka saling menguatkan meski ada perasaan sedikit kecewa karena tidak bisa berada dalam satu kelas lagi.
El memasuki kelas XI IPS 1 dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini adalah langkah baru dalam hidupnya, tapi tetap ada rasa kehilangan karena Nana tidak ada di sebelahnya. Ia memilih duduk di tengah, berusaha membuka diri terhadap teman-teman baru.
"Oke, ini langkah baru. Gue harus adaptasi dan fokus di sini."Sementara itu, di kelas XI IPA 2, Nana juga mengalami hal serupa. Meski ia merindukan kebersamaannya dengan El, ia tahu bahwa mereka harus tumbuh di jalur masing-masing.
Saat bel istirahat berbunyi, El segera keluar dari kelas dan menuju kantin, berharap bisa bertemu Nana. Seperti yang diduganya, Nana sudah menunggu di tempat biasa.
"Na! Gimana kelas baru lo?"
"Seru sih, tapi tetep beda tanpa lo di sana."
"Gue juga ngerasa aneh gak ada lo di kelas gue. Tapi kita tetap bisa ketemu di sini, kan?"
YOU ARE READING
Never Flat
Fiksi Umum"Dalam putaran waktu yang tak terhitung. Kita melangkah dalam harap dan ragu. Layaknya angin yang datang dan berlalu. Kehidupan itu berbisik; teruslah berjalan walau tak tahu."