Keesokan harinya, matahari sudah agak tinggi ketika El bangun. Cahaya pagi masuk melalui celah tirai kamarnya, memberikan nuansa hangat yang menenangkan. Tubuhnya masih terasa lelah setelah malam festival kampus yang penuh semangat dan energi. Ia bangun dengan sedikit nyeri di leher akibat terlalu lama menunduk mempersiapkan alat-alat band dan berlatih puisi.
El merentangkan tubuhnya dan menghela napas panjang. Ia membuka ponsel, langsung melihat beberapa pesan yang belum dibaca—mayoritas dari teman-temannya yang memuji penampilannya di festival. Namun, satu pesan membuatnya tersenyum lebar: pesan dari Nana.
"Lo keren banget kemarin, El! Gua bangga banget liat lo di atas panggung!"
El membalas pesan itu sambil tersenyum. “Makasih, Na. Lo juga asik banget nonton bareng, bikin gua lebih semangat.”
Setelah bersiap-siap, El pergi menuju kampus untuk mengikuti kuliah pagi. Setibanya di sana, suasana kampus masih terasa sisa-sisa euforia festival kemarin. Poster-poster acara masih tergantung di beberapa sudut, dan beberapa mahasiswa masih membicarakan penampilan-penampilan yang mereka sukai.
“El, keren banget lo kemarin! Band lo ngangkat banget acaranya!” seru salah satu teman kampusnya ketika El melangkah di lorong kampus.
“Ah, lebay lo,” jawab El sambil tersenyum malu.
Namun, perhatian El segera tertuju pada Nana, yang berjalan dari arah berlawanan. Wajahnya tampak segar, penuh semangat pagi seperti biasanya. Saat Nana melihat El, ia melambaikan tangan dengan senyum lebar.
Setelah kelas selesai, mereka berdua memutuskan untuk makan siang bersama di kantin. Nana tampak antusias mengulang-ulang pujian untuk El, sementara El berusaha menahan rasa malunya.
“El, gua serius, kemarin lo bener-bener beda. Gua bahkan sempet mikir, ini temen gua yang biasanya pendiem itu?” kata Nana sambil tertawa kecil.
El menggaruk kepala, sedikit canggung. “Iya, iya... gua emang biasanya nggak kayak gitu. Tapi, ya, kemarin seru aja. Lo juga semangat banget nonton, jadi gua makin pede.”
Nana tertawa. “Ya dong, kan gua harus dukung lo. Lagian puisi yang lo bacain itu... dalem banget, El. Lo nulis sendiri?”
El mengangguk. “Iya. Puisi itu soal perjalanan hidup gua, sih. Soal... rasa sakit yang gua rasain waktu di pondok dulu. Tapi gua ngerasa, akhirnya gua bisa nerima semua itu sekarang.”
Nana mendengarkan dengan serius, wajahnya menunjukkan ketulusan. “Gua nggak nyangka, El. Gua kira lo udah lama ninggalin semua itu. Tapi ternyata, lo masih bisa menuangkannya dalam puisi.”
“Gua juga nggak nyangka bisa tampil dan buka-bukaan gitu. Mungkin karena... lo selalu ada di samping gua. Lo dan temen-temen yang lain di kampus bikin gua ngerasa nggak sendirian lagi.”
Nana tersenyum lembut, lalu tanpa disangka-sangka, dia mengangkat tangan dan menjabat bahu El dengan lembut. “El, selama gua ada, lo nggak bakal sendirian. Apa pun yang lo mau ceritain, gua bakal dengerin. Lo udah jauh lebih kuat sekarang, dan gua bangga bisa jadi bagian dari perjalanan lo.”
Percakapan mereka terhenti sesaat, diliputi keheningan yang penuh makna. El merasa hatinya hangat, seolah semua rasa sakit dan kenangan buruk masa lalunya mulai berganti dengan rasa nyaman dan aman di dekat Nana.
“Eh, habis ini kita ke perpustakaan, yuk?” ajak Nana tiba-tiba, kembali ceria.
El mengangguk, tertawa kecil. “Ayo. Siapa tahu ada buku-buku yang menarik buat gua baca...”
Mereka berdua meninggalkan kantin dengan hati yang lebih ringan. Masa lalu memang tak akan pernah hilang, tapi kini El merasa jauh lebih kuat, terutama dengan Nana di sisinya. Bagi El, Nana bukan hanya sekadar sahabat—dia adalah alasan baginya untuk terus maju dan meraih masa depan yang lebih baik.
YOU ARE READING
Never Flat
Fiksi Umum"Dalam putaran waktu yang tak terhitung. Kita melangkah dalam harap dan ragu. Layaknya angin yang datang dan berlalu. Kehidupan itu berbisik; teruslah berjalan walau tak tahu."