Nana masih terlihat bingung dan sedikit khawatir saat mereka duduk di meja pojok kafe, jauh dari keramaian. El menunduk, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu pertanyaan itu akan datang, dan dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindari kenyataan yang pahit ini lagi.
"El, gua nggak ngerti. Lo seharusnya masih kelas 9, kan? Kenapa lo malah harus kerja sekeras ini? Bukannya lo harusnya masihbdi pondok?"
El menarik napas dalam-dalam, pandangannya kosong ke cangkir kopi di depannya. Nana terlihat semakin khawatir.
"Gua benar-benar bingung, El. Gua bahkan coba cari akun sosial media lo, gua pengen hubungin lo, tapi nggak ada. Lo ilang gitu aja. Apa yang sebenarnya terjadi?"
El menatap Nana, matanya memantulkan kelelahan dan rasa putus asa yang selama ini dia pendam. Akhirnya, dia merasa bahwa inilah waktunya untuk menceritakan semuanya. Nana layak tahu.
"Semuanya berubah setelah kelas 8, Nana. Di pondok, ada fitnah yang dilempar ke gua. Fitnah yang... bikin semua orang di sana benci sama gua."
Nana menatap El dengan alis mengerut, masih berusaha memahami.
"Fitnah apa, El?"
El mengambil napas panjang sebelum melanjutkan.
"Seseorang di pondok, gua nggak tahu siapa, mulai menyebar rumor tentang gua. Mereka bilang gua melakukan hal-hal yang nggak pernah gua lakukan. Orang-orang percaya, Na. Ustadz-ustadz, teman-teman, bahkan orang tua gua sendiri percaya. Gua dibenci, dipermalukan, sampai akhirnya gua keluar dari pondok."
Nana terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja diceritakan El.
"Tapi... orang tua lo? Kenapa mereka percaya? Bukankah mereka seharusnya mendukung lo?"
El tersenyum pahit, lalu melanjutkan dengan suara yang penuh rasa sakit.
"Gua juga berharap begitu. Tapi, fitnah itu terlalu besar. Mereka bilang nama baik keluarga tercemar. Mereka bilang gua bikin malu. Jadi mereka nggak cuma percaya, mereka juga menyalahkan gua. Mereka berhenti kasih gua makan, Na. Itu sebabnya gua kerja serabutan. Gua harus bertahan."
Mata Nana mulai berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka sahabatnya mengalami hal seperti ini. Suara El terdengar semakin berat, seolah setiap kata mengeluarkan luka yang selama ini ia sembunyikan.
"Gua coba bertahan, Na. Gua kerja apa saja yang bisa gua temukan. Kadang di pasar, kadang di warteg, kadang di tukang sate. Apa saja yang penting gua bisa makan. Gua juga ngajar ngaji, biar gua nggak lupa apa yang udah gua pelajari di pondok dulu."
Nana menatap El dengan rasa tidak percaya, antara sedih dan marah.
"Gua... gua nggak tahu harus bilang apa. Gua benar-benar nggak tahu semua ini terjadi. Kenapa lo nggak pernah cerita? Kenapa nggak hubungi gua?"
El menunduk lagi, merasa berat untuk menjawab.
"Apa yang bisa gua ceritain, Na? Waktu itu gua nggak punya siapa-siapa. Gua nggak tahu harus mulai dari mana. Semua orang udah terlanjur benci sama gua, bahkan keluarga gua sendiri. Gua nggak bisa angkat muka."
Nana menggenggam tangan El dengan erat, air matanya menetes perlahan.
"El... gua masih di sini. gua masih sahabat lo. Lo nggak perlu ngelewatin semua ini sendirian."
El tersenyum kecil, meski matanya ikut berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak sendirian.
Setelah percakapan panjang di kafe, Nana tidak bisa menahan rasa iba melihat kondisi sahabat lamanya, El. Mereka sudah berteman sejak TK dan SD, namun sejak SMP, jalan mereka terpisah karena El masuk ke pondok. Kini, melihat El yang harus bekerja keras hanya untuk makan, Nana merasa tak berdaya, tapi ingin membantu.
YOU ARE READING
Never Flat
General Fiction"Dalam putaran waktu yang tak terhitung. Kita melangkah dalam harap dan ragu. Layaknya angin yang datang dan berlalu. Kehidupan itu berbisik; teruslah berjalan walau tak tahu."