Fitnah

16 2 0
                                    

Hari itu, suasana di pondok semakin panas. Fitnah yang dilemparkan oleh Rafli terus meluas, dan semakin banyak orang percaya pada cerita bohong itu. Tidak hanya siswa yang memandang El dengan curiga, tapi beberapa ustaz mulai melihatnya dengan tatapan dingin. El menjadi sorotan negatif di setiap sudut pondok, dan cerita bahwa dia "mencemarkan nama baik" pondok sebelumnya kini menjadi topik utama di kalangan guru dan murid.

El dipanggil oleh kepala pondok, Ustaz Hadi. El melangkah dengan perasaan berat, mengetahui apa yang mungkin terjadi. Di ruangan itu, sudah ada beberapa ustadz lain yang duduk dengan ekspresi tegas. Saat El masuk, suasana semakin mencekam.

“El, kami memanggilmu untuk membahas sesuatu yang sangat serius. Ada kabar yang menyebutkan bahwa kamu mencemarkan nama baik pondok sebelumnya, dan sekarang kami khawatir hal yang sama bisa terjadi di sini. Kami butuh penjelasan.” ucap Ustadz Hadi

El merasa tenggorokannya kering, tapi dia tahu dia harus berbicara.

“Ustadz, semua itu fitnah. Tidak ada yang benar dari cerita itu. Saya pindah dari pondok sebelumnya karena masalah bullying. Saya tidak pernah melakukan hal yang mereka tuduhkan.”

“Namun, banyak orang yang percaya pada cerita itu, termasuk beberapa ustaz di sini. Kami harus menjaga nama baik pondok ini, El. Jika tuduhan itu benar, kami tidak bisa membiarkan ini berlanjut.” jelas Ustadz Hadi.

***

Kabar tentang El segera menyebar. Di waktu istirahat, saat banyak siswa berkumpul di masjid untuk shalat dzuhur, beberapa dari mereka mulai membicarakan El dengan suara keras.

“Tahu nggak, El itu katanya dulu bermasalah besar di pondok sebelumnya. Jangan-jangan dia bawa masalah itu ke sini.”

“Iya, pondok ini jadi terlihat buruk gara-gara dia. Kita nggak bisa membiarkan orang kayak dia tetap di sini.”

Percakapan itu terus bergulir, dan tanpa sadar mereka sudah memandang El sebagai musuh. Ketika El memasuki masjid untuk shalat, semua mata tertuju padanya. Beberapa orang mulai berbisik, sementara yang lain langsung menghindar. Seolah-olah dia adalah sosok yang mencemarkan kehormatan mereka. Tidak ada lagi sapaan hangat atau pujian atas prestasinya. Yang tersisa hanyalah tatapan dingin penuh kecurigaan.

Malam itu, El kembali ke kamarnya dengan pikiran yang bercampur aduk. Semua orang yang dulu menghormatinya kini memandangnya sebagai ancaman. Bahkan orang tuanya, yang seharusnya menjadi sandarannya, mulai meragukannya. El merasa sendirian, terperangkap dalam fitnah yang tak bisa ia kendalikan.

El berbaring di atas sajadahnya, berharap mendapatkan kedamaian. Namun, pikirannya terus berputar, mengingat semua kebohongan yang disebarkan tentang dirinya. Tangannya menggenggam erat mushaf Al-Qur'an di dada, satu-satunya yang masih bisa memberikan ketenangan di tengah badai.

Dalam doanya, El berbicara dengan Tuhan, suara hatinya terdengar lirih namun penuh keyakinan.

“Ya Allah, Engkau Maha Tahu apa yang benar dan salah. Engkau Maha Adil. Jika semua yang mereka tuduhkan kepadaku tidak benar, tunjukkanlah jalan keluarnya. Aku mohon kekuatan untuk menghadapi ini.”

Namun, di balik kesedihan itu, El juga mulai merasakan kemarahan. Kemarahan terhadap mereka yang percaya pada kebohongan tanpa mencari tahu kebenarannya, dan juga terhadap dirinya sendiri, yang seolah tidak bisa membela dirinya dengan cukup kuat.

Beberapa hari kemudian, pondok mengadakan pertemuan besar untuk membahas masalah El. Semua siswa dan ustadz berkumpul di aula besar. Ustadz Hadi berdiri di depan podium, sementara El duduk di tengah ruangan, merasa seperti terdakwa yang menunggu putusan.

“Kita berkumpul di sini karena ada masalah yang harus kita selesaikan dengan jelas. El, siswa kita yang telah mencapai banyak prestasi, dituduh mencemarkan nama baik pondok sebelumnya. Kami sudah mendengar dari banyak pihak, tapi sekarang kami ingin mendengar langsung dari El.”

Never Flat Where stories live. Discover now