Malam itu, setelah anak-anak tidur, rumah terasa lebih tenang. Jeonghan duduk di sofa ruang tamu, memandangi cangkir teh hangat di tangannya dengan tatapan kosong. Sinar lampu temaram menyinari wajahnya yang tampak lelah, tapi pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Seungcheol yang baru saja selesai memeriksa kamar anak-anak, berjalan pelan menuju Jeonghan dan duduk di sampingnya.
"Anak-anak sudah tidur, semuanya aman," ujar Seungcheol sambil melirik ke arah Jeonghan. Ia melihat ada sesuatu yang tak biasa di wajah istrinya, sebuah kekhawatiran yang lebih dalam dari biasanya.
Jeonghan hanya mengangguk pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir tehnya. Seungcheol menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran istrinya, lalu menggenggam lembut tangan Jeonghan yang dingin. "Ada yang kamu pikirin, Han?" tanyanya lembut, nadanya penuh perhatian.
Jeonghan menarik napas dalam-dalam, kemudian menutup matanya sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. "Mas.... aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali salah satu dari anak-anak terluka, rasanya semua ikut terluka," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Seperti kemarin, Dokyeom terluka karena potong kuku, lalu Minghao yang jadi rewel gara-gara tangannya yang gatal-gatal. Dan sekarang... Mingyu... Kakinya bengkak..."
Seungcheol terdiam, mendengarkan dengan seksama. Ia tahu betul bagaimana Jeonghan selalu peka terhadap anak-anak, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran seorang ibu.
"Dari dulu selalu seperti itu," lanjut Jeonghan, suaranya semakin pelan. "Ketika yang satu terluka, semuanya ikut merasakan. Ketika Dokyeom jatuh waktu masih kecil, Mingyu menangis lebih keras daripada dia. Waktu Minghao sakit demam tinggi, Kyeomie sampai nggak mau makan seharian karena dia khawatir."
Seungcheol menggenggam tangan Jeonghan lebih erat, merasakan betapa berat beban yang dipikul istrinya. "Aku tahu, Han... aku merasakannya juga," balasnya, suaranya lembut dan dalam. "Kita memang keluarga, dan rasa sakit salah satu dari kita pasti akan terasa oleh yang lain. Dan mungkin karena mereka kembar, ikatan batin merekaebih kuat."
Jeonghan menoleh menatap Seungcheol, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Tapi... kadang aku merasa nggak cukup kuat untuk menghadapi semuanya. Ketika mereka terluka, aku juga ikut terluka, mas. Rasanya seperti hatiku terkoyak, melihat mereka kesakitan. Aku nggak bisa jaga mereka dengan baik."
Seungcheol menarik Jeonghan ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu ibu yang luar biasa, Han. Anak-anak merasakan cinta yang begitu besar dari kamu, itulah yang membuat mereka tumbuh saling peduli. Tapi kamu juga nggak harus selalu kuat. Nggak apa-apa merasa lelah, merasa terluka, karena kita di sini untuk saling mendukung," ucapnya lembut, menenangkan Jeonghan yang mulai menangis perlahan di pelukannya.
Jeonghan menghela napas panjang, air matanya jatuh membasahi kemeja Seungcheol. "Tapi aku nggak mau mereka terus-terusan merasa sakit... Aku ingin mereka selalu bahagia, tanpa ada rasa sakit atau luka."
Seungcheol mengusap lembut punggung Jeonghan, memberikan kehangatan yang ia butuhkan. Seungcheol rasa, istrinya sedang emosional saat ini, "Han... anak-anak pasti akan terluka, itu bagian dari kehidupan mereka. Tapi yang penting adalah kita ada di sini untuk mereka, untuk menyembuhkan luka-luka itu. Kita nggak bisa melindungi mereka dari semua rasa sakit, tapi kita bisa membantu mereka menghadapinya."
Jeonghan terdiam sesaat, menyerap setiap kata yang diucapkan Seungcheol. Ia tahu suaminya benar, tapi tetap saja, hati seorang ibu sulit untuk tidak ikut merasakan kesakitan anak-anaknya.
"Ya... kamu benar, mas... Aku cuma nggak bisa berhenti memikirkan mereka," gumam Jeonghan, masih bersandar di dada suaminya. "Kadang aku terlalu keras pada diri aku sendiri."
Seungcheol tersenyum tipis dan mengecup puncak kepala Jeonghan. "Kamu udah melakukan yang terbaik, lebih dari yang bisa diharapkan oleh siapa pun. Anak-anak tahu betapa beruntungnya mereka punya ibu seperti kamu."
Jeonghan tersenyum lemah, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Seungcheol. Meskipun rasa khawatirnya tak akan pernah sepenuhnya hilang, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Mereka ada di sini bersama, menghadapi suka dan duka sebagai satu keluarga.
Setelah beberapa saat dalam diam yang penuh kehangatan, Jeonghan akhirnya berbicara lagi, suaranya lebih tenang. "Kamu selalu tahu harus berkata apa untuk membuatku merasa lebih baik."
Seungcheol tersenyum kecil. "Itu karena aku kenal kamu, Han. Aku tahu apa yang kamu butuhkan, sama seperti kamu tahu apa yang anak-anak butuhkan."
Jeonghan mendongak menatap Seungcheol, matanya yang berair kini mulai cerah kembali. "Terima kasih, mas. Aku bersyukur ada kamu di sisi aku," bisiknya pelan.
Seungcheol memandangnya dengan tatapan penuh cinta. "Dan aku bersyukur setiap hari ada kamu dan anak-anak dalam hidupku. Kita akan selalu bersama-sama, melewati semuanya."
Malam itu, meski di penuhi kekhawatiran Jeonghan, mereka melewatinya dengan baik sambil bersandar satu sama lain. Memang benar, luka itu menjadi bagian dari kehidupan. Kita tidak bisa membuat semuanya berjalan sesuai dengan keinginan kita, ada kalanya rasa sakit menghadang untuk membuat kita jauh lebih kuat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeongcheol & the Magic of Family
RomanceJeongCheol ft 97L Setelah beberapa tahun menikah, kehidupan Jeonghan bersama Seungcheol dan tiga anak mereka-Dokyeom, Mingyu, dan Minghao-berjalan penuh kehangatan dan canda tawa. Meski rutinitas mereka tampak sederhana, Jeonghan selalu menemukan ke...