Malam itu, hujan masih turun dengan deras di luar, menciptakan ritme lembut yang menenangkan di atap rumah. Di dalam, suasana sudah hening. Jeonghan dan Seungcheol tidur saling berpelukan di kamar, sementara Dokyeom dan Minghao sudah terlelap di kamar mereka. Hanya Mingyu yang masih terjaga, matanya terbuka lebar dalam kegelapan kamar, mendengarkan hujan yang tak kunjung berhenti.
Mingyu mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus berkelana. Setiap kali suara petir terdengar samar di kejauhan, dadanya terasa sesak, meskipun dia tahu keluarganya aman. Dia menarik selimutnya lebih erat, tapi rasa khawatir masih menyelimuti hatinya.
Tak tahan lagi, Mingyu akhirnya bangkit pelan dari tempat tidurnya. Dia berjalan dengan hati-hati melewati lorong rumah menuju kamar orang tuanya. Saat sampai di pintu kamar, ia berhenti sejenak, ragu apakah sebaiknya membangunkan mereka atau tidak. Tapi kemudian, dia menguatkan hati dan mendorong pintu sedikit, mengintip ke dalam.
Di sana, ia melihat Jeonghan tidur nyenyak di pelukan Seungcheol, napas mereka berdua terdengar lembut dan teratur. Pemandangan itu seharusnya membuatnya tenang, tapi Mingyu tetap merasa gelisah. Perlahan, ia melangkah mendekati ranjang, berdiri di samping tempat tidur orang tuanya.
Jeonghan, yang selalu peka dengan kehadiran anak-anaknya, seolah merasakan kehadiran Mingyu bahkan dalam tidurnya. Ia membuka matanya perlahan dan melihat sosok kecil putranya berdiri di samping ranjang.
"Mingoo?" bisiknya pelan, suaranya serak karena baru bangun. "Kenapa belum tidur, sayang?"
Mingyu terdiam sejenak, tidak ingin membuat Jeonghan khawatir, tapi ia akhirnya menggeleng. "Aku nggak bisa tidur, Mami... hujannya belum berhenti, terus aku takut petir muncul lagi."
Jeonghan langsung mengerti. Dengan lembut, ia mengulurkan tangan, mengundang Mingyu untuk naik ke atas tempat tidur. "Sini, sayang, baring sama Mami dan Papi. Kamu nggak usah takut, ya?"
Mingyu, tanpa pikir panjang, langsung memanjat tempat tidur dan menyelipkan dirinya di sebelah Jeonghan. Jeonghan merapikan selimut untuknya, membiarkan Mingyu bersandar di lengannya. Seungcheol, yang merasakan gerakan di sampingnya, hanya bergumam kecil dalam tidurnya, tapi tangannya secara alami melingkar di sekitar Jeonghan dan Mingyu, menambah kehangatan di malam yang dingin itu.
"Mami... kalau petir datang lagi, kita tepuk tangan lagi, ya?" bisik Mingyu, meski suaranya kini terdengar lebih tenang.
Jeonghan tersenyum lembut, mengelus rambut Mingyu dengan kasih sayang. "Iya, Mami janji. Tapi sekarang coba tidur, ya? Mami di sini, Papi juga di sini. Kamu aman, sayang."
Mingyu mengangguk kecil, akhirnya merasa tenang di antara kehangatan orang tuanya. Perlahan-lahan, kelopak matanya mulai terasa berat, dan tak lama kemudian, ia pun terlelap, rasa takutnya lenyap oleh rasa aman yang dibawakan oleh Jeonghan dan Seungcheol.
Namun, tiba-tiba, di tengah malam, suara petir yang keras mengguncang rumah. Mingyu terbangun dengan kaget, matanya melebar saat ketakutan melanda dirinya lagi. Jeonghan pun terbangun, cepat menenangkan putranya. "Semua akan baik-baik saja, sayang. Mami di sini," bisiknya lembut, berusaha menyalurkan ketenangan.
Ketika Mingyu masih terlihat cemas, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sosok Dokyeom muncul dengan tangan kanan menggenggam bantal, dan tangan kirinya menggandeng tangan Minghao yang tengah memeluk boneka kesayangannya, Snowy. "Mami! Aku juga takut!" seru Dokyeom, suara pelan tapi penuh rasa cemas.
"Papi! Mami!" Minghao menambahkan, dengan mata yang hampir meneteskan air mata. "Petirnya kencang! Haohao takut!"
Melihat kedua anaknya yang ketakutan, Jeonghan segera memanggil mereka. "Ayo, kalian berdua ke sini. Tidur di ranjang sama-sama!" Dia membuka selimut, mengundang mereka untuk bergabung.
Seungcheol, yang kini sepenuhnya ikut terbangun, segera bergeser untuk memberikan ruang di ranjang. Di sinilah mereka, Seungcheol di pinggir, lalu Jeonghan, Mingyu, di sebelahnya Minghao dengan Snowy, dan Dokyeom.
Mingyu merasa lebih nyaman dengan kehadiran kakak-adiknya dan Mami serta Papi yang menenangkan. Mereka berempat berpelukan, suara hujan dan petir di luar seakan tertutupi oleh rasa hangat yang menyelimuti mereka.
"Mari kita tepuk tangan, ya?" usul Mingyu dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian mereka.
"Iya, ayo!"seru Dokyeom.
Dengan segenap kekuatan, mereka mulai bertepuk tangan bersama setiap terdengar suara petir, meski di tengah ketakutan, mereka merasa aman dalam pelukan satu sama lain, menciptakan ikatan yang semakin kuat di tengah hujan malam yang mengguyur.
Malam itu, suara tepuk tangan mereka terdengar ceria di tengah gemuruh hujan dan petir. Jeonghan tersenyum, merasakan kebahagiaan di antara anak-anaknya meskipun situasi sedang genting. "Lihat, Mami dan Papi ada di sini bersama kalian. Kita bisa menghadapi apa pun selama kita bersama, kan?" katanya lembut.
Mingyu, yang kini lebih tenang, tersenyum lebar. "Iya, Mami! Kita bisa jadi tim yang hebat! Kalau sama-sama, aku nggak takut sama petir!"
Minghao yang masih memeluk Snowy menambahkan, "Kita harus berani! Mami selalu bilang begitu."
Dokyeom, yang sudah mulai bisa mengatasi rasa takutnya, mengangguk setuju. "Betul! Kita akan melawan petir dan hujan dengan tepuk tangan kita!"
Dengan semangat yang baru, mereka terus bertepuk tangan, menciptakan ritme yang penuh kehangatan. Jeonghan dan Seungcheol tidak bisa menahan tawa melihat betapa beraninya anak-anak mereka. Jeonghan tidak ingin menghentikannya, Jeonghan ingin anak-anaknya belajar cara menaklukkan ketakutan mereka. Tangan-tangan kecil yang bertepuk tangan itu begitu lucu. Meskipun malam itu di luar sangat menakutkan, di dalam kamar mereka, semua terasa aman dan penuh cinta.
Setelah beberapa saat bertepuk tangan, Mingyu mengangkat suara kecilnya, "Mami, bisa cerita lagi sebelum kita tidur? Tentang petualangan kita di taman?"
Jeonghan tersenyum, merasa senang melihat anak-anaknya mulai melupakan rasa takut mereka. "Tentu saja. Ingat nggak kalian saat kita menemukan kupu-kupu besar di taman? Kupu-kupu itu sangat cantik dan..."
Seungcheol ikut menambahkan, "Dan kita juga membuat taman bunga untuk membantu kupu-kupu itu, kan?"
Minghao, yang sangat menyukai ide itu, berkata, "iya! Dan kita memberi mereka air mancur kecil supaya mereka bisa minum!"
Dokyeom lalu menggenggam bantalnya lebih erat dan berkata, "Mami, bisa nggak kita buat taman baru di belakang rumah? Kita bisa menanam bunga yang berbeda!"
"Bagus sekali idenya, Kyeomie! Kita bisa merencanakan taman baru bersama-sama saat cuaca udah lebih baik di luar," jawab Jeonghan dengan penuh semangat. "Mami akan mengajak kalian ke toko untuk memilih benih bunga yang kalian suka."
Mendengar itu, Mingyu menambahkan, "Aku ingin menanam bunga berwarna biru! Seperti langit!"
"Dan aku mau bunga merah!" seru Dokyeom, bersemangat.
Minghao mengangkat Snowy, "Aku mau bunga yang bisa menarik kupu-kupu! Kupu-kupu pasti suka!"
Keluarga Anderson semakin terbuai dalam mimpi indah yang mereka ciptakan, tertawa dan berbagi impian mereka sambil hujan di luar terus menari. Dalam pelukan satu sama lain, semua ketakutan berangsur pergi, digantikan dengan rasa aman dan cinta yang mengikat mereka lebih kuat.
Malam itu berlanjut, dan dengan semua anak-anak tertidur pulas, Jeonghan dan Seungcheol saling berpandangan, menyadari betapa beruntungnya mereka memiliki satu sama lain. Mereka berdua merasa bangga melihat anak-anak mereka belajar untuk saling mendukung di saat-saat sulit.
Perlahan, ketenangan menyelimuti kamar, dengan hujan yang masih turun di luar, menjadi latar belakang yang menenangkan.
Dan dalam damainya malam itu, Jeonghan dan Seungcheol merasakan janji untuk selalu menjaga dan melindungi keluarga mereka, tidak peduli apa pun yang terjadi di luar sana. Mereka tahu, selama mereka bersama, semua hal akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeongcheol & the Magic of Family
Roman d'amourJeongCheol ft 97L Setelah beberapa tahun menikah, kehidupan Jeonghan bersama Seungcheol dan tiga anak mereka-Dokyeom, Mingyu, dan Minghao-berjalan penuh kehangatan dan canda tawa. Meski rutinitas mereka tampak sederhana, Jeonghan selalu menemukan ke...