Chapter 7 : Waiting For Papi 2

332 32 19
                                    

Malam semakin larut, tapi Jeonghan masih terjaga di sofa, menunggu Seungcheol yang belum juga pulang. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas, dan keheningan rumah membuat segalanya terasa semakin sunyi. Sementara anak-anak sudah tidur sejak tadi, Jeonghan masih setia menunggu. Tangannya memeluk lututnya, sementara pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang semakin hari makin sulit untuk ia tahan.

Ketika akhirnya Seungcheol membuka pintu, bunyi derit halus pintu yang terbuka membuat Jeonghan tersentak. Tatapannya langsung tertuju pada sosok suaminya yang terlihat kelelahan, dengan setelan jas yang sudah kusut dan wajah yang tampak lelah. Seungcheol hanya memberikan senyum tipis saat melihat Jeonghan, namun senyum itu tidak menyembunyikan rasa bersalah yang perlahan muncul di wajahnya.

"Mas baru pulang?" Jeonghan bertanya dengan nada lembut, tapi sorot matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa disembunyikan-keresahan yang semakin hari semakin tumbuh dalam dirinya. Dia tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya duduk diam dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Iya, ada banyak dokumen yang harus aku urus tadi," jawab Seungcheol, menaruh tas kerjanya di meja sambil menggosok lehernya yang terasa kaku. "Kerjaan di kantor lagi sebanyak itu. Aku nggak punya pilihan selain lembur."

Jeonghan hanya mengangguk kecil, namun hatinya memberontak. Setiap malam cerita yang sama selalu terulang-Seungcheol pulang larut, terlalu lelah untuk berbicara panjang, dan kemudian tertidur tanpa sempat benar-benar menghabiskan waktu bersama keluarga. Dan setiap hari, Jeonghan merasa semakin kesepian meski suaminya ada di dekatnya.

"Aku ngerti kalau Mas sibuk," kata Jeonghan akhirnya, suaranya bergetar halus. "Tapi Mas nggak lihat kalau kita juga sibuk menunggu? Anak-anak tiap hari nanya kapan Papi bisa pulang lebih cepat. Minghao sampai nangis tadi malam karena dia pikir kamu nggak peduli lagi."

Seungcheol berhenti, ekspresi wajahnya berubah. Ia mencoba mencerna perkataan Jeonghan. "Aku nggak mungkin ninggalin kantor sekarang, Han. Banyak yang harus aku urus. Semua ini juga demi kalian, biar kita bisa hidup lebih baik."

Jeonghan berdiri perlahan dari sofanya, berjalan mendekati Seungcheol, namun ada jarak yang terasa di antara mereka. "Demi kita? Mas, hidup kita bukan soal uang atau pekerjaan. Aku nggak peduli soal rumah besar atau mobil bagus. Aku cuma butuh kamu di sini. Anak-anak butuh kamu. Mereka masih kecil loh, mereka butuh perhatian lebih dari ayahnya."

"Aku tahu, Han," jawab Seungcheol, nadanya lebih rendah. "Tapi kamu juga tahu aku punya tanggung jawab di kantor. Ini nggak gampang. Aku nggak bisa begitu saja tinggalin pekerjaan."

Jeonghan merasakan rasa frustrasi yang semakin memuncak di dalam dirinya. Ia menatap Seungcheol, matanya mulai berkaca-kaca, namun ia menahan air matanya. "Mas selalu bilang begitu-pekerjaan, tanggung jawab, kantor. Tapi kamu lupa, tanggung jawabmu juga ada di sini. Di rumah. Dengan aku, dengan anak-anak. Kamu nggak bisa terus-terusan begitu, Seungcheol."

Suasana hening. Kata-kata Jeonghan menggantung di udara, terasa berat, dan Seungcheol hanya bisa terdiam, terjebak dalam rasa bersalah yang menyesakkan dada. Ia ingin membalas, tapi semua yang ada di kepalanya terasa seperti alasan semata.

"Aku nggak tahu harus gimana lagi," kata Jeonghan akhirnya, suaranya pecah saat air mata yang ditahannya jatuh perlahan. "Aku juga capek, Mas. Capek harus terus-terusan menjelaskan ke anak-anak kenapa Papi mereka selalu pergi. Capek harus selalu bilang mereka harus sabar. Capek menunggu kamu pulang tiap malam tanpa tahu kapan kamu akan ada buat kita. Tapi aku tahu, anak-anak pasti lebih capek nunggu kamu."

Seungcheol menggigit bibirnya, menunduk. Ia ingin mengulurkan tangan dan meraih Jeonghan, tapi tubuhnya terasa kaku. Beban pekerjaan yang selama ini menghimpitnya seolah membuatnya lupa bagaimana caranya berbagi waktu dengan keluarganya.

Jeongcheol & the Magic of FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang