Chapter 7 : Waiting For Papi 3

328 38 22
                                    

Pagi itu terasa berbeda. Saat Jeonghan bangun, ia melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Ia terkejut, jarang sekali ia bangun selarut ini. Mungkin karena semalaman ia terus gelisah setelah pertengkaran dengan Seungcheol. Dengan cepat, Jeonghan turun dari tempat tidur, menyadari bahwa rumah sudah sepi. Tak ada tanda-tanda Seungcheol di manapun.

Langkah kakinya bergegas menuju dapur, berharap Seungcheol masih ada di sana, mungkin sedang menunggu sarapan atau setidaknya meninggalkan pesan. Tapi tidak ada. Piring dan cangkir yang biasanya disiapkan untuk sarapan Seungcheol bahkan tak disentuh. Semua masih seperti kemarin, tertata rapi, seolah Seungcheol sama sekali tidak menyentuh apapun sebelum pergi. Seungcheol pasti pergi bahkan sebelum dia sarapan.

Jeonghan berdiri di dapur dengan rasa kosong di dadanya. Dia tidak berpamitan pagi ini. Kenapa dia pergi begitu saja? Pikiran itu berulang-ulang terngiang di kepala Jeonghan. Rasanya seperti ada tembok tebal di antara mereka. Pertengkaran malam sebelumnya memang belum selesai, tapi Jeonghan tidak menyangka bahwa Seungcheol akan pergi tanpa kata perpisahan.

Hari itu berjalan lambat. Jeonghan menjalani rutinitasnya seperti biasa—mengurus rumah, menyiapkan sarapan, dan menjaga anak-anak. Namun, yang berbeda adalah suasana di rumah. Anak-anak mulai kehilangan semangat, terutama karena mereka hampir tidak pernah melihat ayah mereka. Mingyu dan Dokyeom sering kali duduk diam di ruang tamu, menunggu dengan harapan Seungcheol pulang lebih cepat, tapi mereka selalu berakhir kecewa. Dan malam ini, semuanya mencapai puncaknya.

Jeonghan sedang duduk di ruang tamu bersama ketiga anaknya. Mingyu dan Dokyeom terlihat lesu, duduk termenung di sofa. Mata mereka kosong, tatapan mereka lurus ke depan tanpa minat pada apapun. Sementara Minghao yang biasanya ceria, kini justru rewel di pangkuan Jeonghan. Wajah kecilnya basah oleh air mata, isakannya terdengar pelan namun memilukan.

"Papi kapan pulang, Mami?" suara Minghao bergetar di antara isak tangisnya. Tangannya yang mungil mencengkeram baju Jeonghan erat, seolah takut jika ia tidak bertanya sekarang, ayahnya takkan pernah pulang lagi. "Haohao kangen Papi..."

Jeonghan menatap anak bungsunya, hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu. Perasaan bersalah dan frustasi berkecamuk di dalam dirinya. "Sayang, Papi lagi sibuk kerja. Nanti Papi pulang, pasti...." jawab Jeonghan dengan suara lembut, berusaha menenangkan anaknya meski ia sendiri tak yakin kapan Seungcheol benar-benar bisa meluangkan waktu untuk mereka.

Minghao menggelengkan kepalanya, air mata semakin deras mengalir di pipinya. "Tapi kenapa Papi nggak pulang cepet? Papi nggak sayang sama Haohao lagi?"

Pertanyaan itu menghantam Jeonghan seperti pukulan keras di dada. Sebelum Jeonghan sempat menjawab, isakan Minghao semakin keras, membuat Dokyeom dan Mingyu yang sedari tadi diam, hanya bisa menundukkan kepala. Jeonghan melihat mereka, dan ia tahu betul bahwa kedua anaknya yang lain pun merasa kehilangan meski tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.

Dokyeom, biasanya yang paling ceria dan suka membantu Jeonghan, kini tampak lebih murung dari biasanya. Matanya tidak lagi berbinar seperti biasa, dan setiap kali ada suara yang terdengar dari luar rumah, Jeonghan bisa melihat harapan yang berkobar di matanya, sebelum akhirnya redup kembali ketika ia menyadari itu bukan ayah mereka yang datang.

Sementara itu, Mingyu, yang paling sering menyembunyikan perasaannya, tampak lebih pendiam dari biasanya. Wajahnya terpaku pada lantai, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuannya, seolah ia juga menahan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Tak ada lagi tawa yang biasa ia tebarkan di rumah, tak ada lagi keceriaan yang dulu selalu mengisi hari-hari mereka.

Jeonghan berusaha tetap tegar di depan anak-anaknya, meski di dalam hatinya, ia merasa semakin tak berdaya. "Papi sayang banget sama kalian, tapi sekarang Papi lagi ada kerjaan yang penting," bisiknya lembut, memeluk Minghao lebih erat sambil membelai rambut halus anak bungsunya. "Papi pasti pulang, nanti kalau sudah selesai."

Jeongcheol & the Magic of FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang