Di ujung jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar dan tertutupi dedaunan kering, berdiri sebuah gedung tua yang kusam dan terlupakan. Cat di dindingnya mengelupas, retakan-retakan merayap di permukaannya seperti urat nadi yang mati.
Jendela-jendela besar, yang dulu mungkin bersih dan bercahaya, kini dipenuhi debu dan sarang laba-laba, menyisakan sedikit celah bagi sinar bulan yang terpantul samar, hanya cukup untuk memperlihatkan sebagian interior yang kelam.
Di dalam ruangan gelap, bau apak bercampur dengan udara lembab yang menyesakkan. Lampu redup berpendar dari ujung langit-langit, memancarkan cahaya kuning yang teredam, membentuk bayangan-bayangan aneh di dinding.
Di tengah ruangan itu, seorang siswa duduk di kursi kayu reyot. Tangannya terikat erat pada lengan kursi, dan kain hitam yang kotor menutupi kepalanya, menenggelamkan dunianya dalam kegelapan yang pekat.
Tubuhnya bergetar, gemetar antara ketakutan dan dingin yang menusuk tulang. Setiap detak jantung terdengar nyaring di telinganya, memacu irama kecemasan yang membuatnya semakin tak tenang.
Hembusan angin yang berbisik melalui celah-celah jendela yang pecah mengeluarkan bunyi nyaring, seolah-olah suara-suara berbisik dari sudut ruangan.
Di kejauhan, terdengar derit kecil, mungkin hanya suara tikus atau lantai yang berderak, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang, seolah-olah ada seseorang yang mengintai dari dalam kegelapan.
Suasana yang mencekam semakin terasa berat seiring waktu berlalu. Keheningan yang menyelimuti ruangan itu perlahan terusik oleh suara langkah kaki yang berat dan teratur, bergema dari ujung lorong yang gelap.
Setiap hentakan sepatu di lantai beton bergema dengan ritme yang dingin dan menyeramkan, makin mendekat, seolah membawa ancaman tak kasat mata. Suara itu akhirnya berhenti, hanya beberapa langkah di depan siswa yang terikat.
Lalu, suara lain terdengar, bisikan rendah, penuh misteri, melafalkan kata-kata dalam bahasa yang tak dipahami oleh siswa tersebut. Suara itu seperti nyanyian atau mantra yang menyusup ke dalam benaknya, terdengar mendengung di telinga, mengisi ruangan dengan suasana mistis dan menakutkan.
Kata-kata itu terdengar penuh tekanan, seolah memiliki makna yang dalam dan kelam, namun bagi siswa itu hanya menyampaikan satu pesan ancaman yang tak terucap.
Ia mulai bergerak semakin gelisah, tali di pergelangan tangannya menimbulkan rasa sakit saat ia mencoba melepaskan diri, namun tetap tak bergeming.
Nafasnya memburu, dada naik turun dengan cepat, sementara suara misterius itu semakin menggema, memenuhi setiap sudut ruangan. Ia tak bisa melihat, namun dapat merasakan keberadaan beberapa orang di dekatnya, memancarkan aura yang dingin dan penuh rahasia.
Setiap kata yang terucap semakin mendorongnya dalam ketakutan yang lebih dalam, seolah-olah bayangan gelap yang menyelubungi tubuhnya ingin merasuk hingga ke dalam jiwanya.
Suara mantra yang bergema di ruangan semakin nyaring dan menusuk telinga, seperti gema dari dunia lain yang tak kasat mata.
Terpaku di kursinya, siswa itu akhirnya mencoba berteriak, suaranya parau dan penuh ketakutan, "Tolong... Hentikan...."
Namun, kata-katanya hanya tenggelam dalam kegelapan, terbentur tembok-tembok kusam dan kembali padanya tanpa jawaban. Tak ada yang menanggapi, seolah-olah dia tak lebih dari sekadar bayangan yang tersesat di dalam gedung tua itu.
Dengan napas tersengal, ia merasakan dirinya perlahan lemah, tubuhnya terasa berat seperti ditarik oleh sesuatu dari dalam. Dunia yang sebelumnya terbungkus dalam kegelapan di balik kain hitam itu mulai terasa memudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby, Nerd Boy [End]
Teen FictionDi Coral Coast High School, Nata dikenal sebagai pria manis yang selalu mencuri perhatian. Dengan gaya bebasnya, dia selalu melawan arus, tidak peduli pandangan orang lain. Hidupnya penuh warna, cerita, dan petualangan yang terkadang mengundang masa...