Chapter 30

246 18 3
                                    

Malam itu, setelah seharian menemani floyd di rumah sakit, nata akhirnya mengalah pada permintaan teman-temannya untuk pulang dan beristirahat.

Dengan langkah berat, ia keluar dari rumah sakit dan mengenakan helmnya, menyalakan motor yang sudah setia menunggunya di parkiran.

Suara mesin motornya terdengar rendah di tengah sunyi malam, sementara cahaya lampu jalan yang menerangi perjalanan membuat bayangan kelam di aspal.

Dalam perjalanan pulang, pikirannya terus dipenuhi kekhawatiran tentang floyd. Ia merasa masih bisa merasakan kehadiran sahabatnya di dekatnya, meski kini harus terbaring di ruang rawat.

Saat memasuki jalan yang lebih terang, nata melihat tanda minimarket di sudut jalan. Tanpa rencana, ia memutuskan untuk berhenti dan singgah sejenak.

Mungkin, pikirnya, mengisi kulkasnya dengan beberapa makanan dan cemilan akan memberi ketenangan dan sedikit perasaan bahwa hidupnya tetap berjalan, walau hatinya sedang kacau.

Di dalam minimarket, ia mendorong keranjang belanja sambil berjalan perlahan, memandangi rak-rak yang dipenuhi barang. Ia mengambil beberapa mie instan, roti, dan minuman energi, sekotak susu, serta cemilan-cemilan yang biasanya ia nikmati saat merasa penat.

Satu per satu, barang-barang itu ia masukkan ke dalam keranjang, lalu matanya tertumbuk pada sekotak kue kecil mengingatkannya pada perayaan sederhana yang baru saja ia lewati.

Dengan napas panjang, ia mengembalikan fokus pada belanjanya lalu menyelesaikan pembayarannya.

Nata melangkah keluar dari minimarket dengan tas belanja di tangannya, pikirannya sedikit teralihkan ketika suara riuh dan sorakan datang dari arah arena balap yang terletak tidak jauh dari minimarket itu.

Pandangannya tertuju ke kerumunan orang-orang yang berdiri di tepi arena balap. Penasaran, ia melangkah mendekat, mengintip dari balik keramaian untuk melihat apa yang terjadi.

Suasana arena balap itu penuh dengan energi yang intens. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya terang ke arah aspal yang kini dipenuhi jejak ban, dan suara mesin motor masih berdengung keras.

Sekelompok orang berkumpul, bersorak menyambut pebalap yang baru saja memenangkan pertandingan malam itu. Mereka menepuk-nepuk punggungnya, mengangkat tangan untuk memberikan selamat.

Saat sosok sang pebalap membuka helmnya, seketika jantung nata seolah berhenti berdetak sejenak. Wajah yang muncul dari balik helm itu adalah archen, laki-laki yang belakangan ini menjauhinya tanpa alasan.

Rasa terkejut melanda nata, bayangan tentang archen sebagai siswa nerd dan pendiam yang ia kenal di sekolah, tampak bertolak belakang dengan sosok archen yang berdiri penuh percaya diri di tengah kerumunan balapan liar.

"Chen?" nata bergumam tak percaya, memandangi laki-laki itu dengan tatapan takjub sekaligus bingung.

Perasaan yang menghantamnya begitu bertumpuk, kesal, rindu, sedih, bahkan sedikit kagum melihat sisi lain archen yang sama sekali tak ia duga.

Archen, yang biasanya ia lihat sibuk dengan buku-bukunya, kini berdiri dengan tubuh tegap, menerima pujian dan sorakan dari teman-temannya di arena balap.

Senyum kecil di wajah archen memberi kesan bahwa ia benar-benar menikmati suasana ini. Sesuatu dalam diri nata merasa tak berdaya, seperti menyaksikan seseorang yang sangat dikenalnya berubah menjadi sosok asing.

Nata tak beranjak, matanya tak lepas dari archen. Ia mencoba menyerap kenyataan ini, namun hatinya terasa perih dan kian dipenuhi pertanyaan yang terus mmenghantu, siapa sebenarnya archen yang berdiri di hadapannya malam ini?

My Baby, Nerd Boy [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang