"Jidan, pulang mampir dulu beliin sate. Gak perlu banyak-banyak, aku cuma mau sepuluh tusuk aja. Bisa?" Ashella mengirimkan pesan chat pada Jidan.
"Gak perlu banyak-banyak, tapi mintanya sepuluh tusuk. Sama aja kebanyakan," gumam Jidan saat membaca pesan itu.
Tak perlu berlama-lama lagi, ia segera mengantongi handphonenya lalu pergi.
***
"Shella, Jidan ke mana?" tanya Mahen yang dari tadi mencari keberadaan adiknya itu karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengannya.
"Jidan tadi pergi dulu ke basecamp, katanya ada sesuatu yang penting yang harus dia bicarain dan diskusiin sama mereka," jawab Ashella.
"Kalo dia udah pulang, suruh dia temuin, Kakak, oke?" titah Mahen.
"Oke, Kak." Baru saja Mahen hendak pergi lagi, Jidan datang.
"Itu Jidan, dia udah pulang," ucap Ashella.
"Ada apa nih?" tanya Jidan saat tahu ada yang menyebut namanya.
"Tadi gue cari-cari lo, tapi lo gak ada, akhirnya gue nanya ke Shella, dia bilang lo pergi ke basecamp," jelas Mahen.
"Ada urusan apa lo nyari-nyari gue?"
"Ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo," jawab Mahen.
"Kebetulan gue juga ada sesuatu yang gue omongin sama lo," kata Jidan.
"Ya udah sekalian. Gue tunggu di ruangan kerja gue."
"Iya, Bang." Mahen pun segera pergi.
"Kamu mau omongin soal apa sama, Kak Mahen?" tanya Ashella yang penasaran.
"Ada pokoknya, sesuatu," jawab Jidan.
"Jadi, sekarang kamu mau main rahasia-rahasian sama aku, iya?"
"Bukan gitu. Nanti juga aku kasih tau kok sama kamu, tapi sekarang aku mau omongin dulu sama, Bang Mahen. Sabar ya," bujuk Jidan sambil memegang kepala Ashella dengan lembut.
"Oke-oke, seterah kamu."
"Seterah apa?"
"Masa kamu gak tau seterah?"
"Nggak."
"Ih, seterah itu kayak... seterah."
"Terserah apa seterah?"
"Iya itu, sama aja."
"Beda kata beda arti, Ibu Negara."
"Seterah aku aku lah, eh terserah aku lah. Mau aku bilang seterah kek, setelah kek, orang ini mulut-mulut aku kok kamu yang sewot?"
"Mana pesenan aku?" Ashella menyodorkan telapak tangannya meminta pesanannya.
"Pesenan apa, emang kamu pesen apa sama aku?" tanya Jidan pura-pura tidak tahu.
"Aku 'kan udah chat kamu, kamu gak baca, ya?" Ashella mengambil handphonenya dan memeriksa room chatnya Jidan, dan chatnya hanya dibaca saja tak ada balasan.
"Kok kamu read aku doang, gak dibales?" Ashella menatap tajam Jidan.
"Iya-iya bercanda, ini sate kamu. Sesuai perintah Ibu Negara, gak banyak-banyak cuma sepuluh tusuk." Jidan memberikan kresek berisi sate pada Ashella.
"Emang bener kok gak banyak-banyak, cuma butuh sepuluh doang kok." Ashella membuka kresek itu.
"Ya udah, aku mau samperin Bang Mahen dulu," pamit Jidan.
"Ya udah sana pergi, aku mau makan dulu." Ashella mengusir Jidan agar segera pergi, lalu pergi ke meja makan untuk memakan sate yang dibawa Jidan tadi.
"Sisain satu buat aku!" teriak Jidan saat sudah meninggalkan Ashella.
"Gak mau!" sahut Ashella.
Jidan masuk ke ruangan kerja Mahen. Mahen sudah duduk di kursinya menunggu kedatangan Jidan.
"Duduk," perintah Mahen agar duduk di kursi di depannya. Jidan pun duduk sesuai perintahnya.
"Apa yang mau lo omongin sama gue, Bang?" tanya Jidan mulai serius.
"Gue udah kasih tau lo, soal tawaran gue beberapa hari yang lalu, dan sampe sekarang gue belum ada kabar dari lo sama sekali. Sebenernya lo tuh serius berubah gak sih, Dan?"
"Lo gak kasihan sama calon anak lo yang masih belum lahir itu? Lo lebih peduli sama geng lo itu daripada calon anak lo?" tanya Mahen.
"Gue sama lo tuh beda, Bang. Meskipun kita ini lahir dari rahim yang sama, kita ini sama sekali gak sama," kata Jidan.
"Bagi lo, kerjaan itu lebih penting, tapi bagi gue? Nggak. Bagi gue, temen-temen gue itu penting, meskipun gue tau kalo kerjaan juga itu penting."
"Tapi, ini tuh gak semudah yang lo pikir, gue udah bertahun-tahun bareng sama mereka dan sekarang kalo gue kerja artinya gue bakalan jarang banget ketemu sama mereka."
"Padahal gue sering banget ketemu sama mereka karena gue selalu ada di basecamp, dan sekarang kalo gue langsung terima tawaran itu sama aja gue gak ngehargain mereka."
"Gue tadi ke basecamp dan minta persetujuan dari mereka buat terima tawaran dari lo itu, dan mereka setuju walaupun awalnya gak setuju. Tapi, mereka peduli. Jadi, lo gak ada hak bilang kalo gue ini gak peduli sama calon anak gue, paham?" tegas Jidan panjang lebar.
"Jadi, lo bakalan out dari geng lo itu?" tanya Mahen.
"Gue gak bakalan out, karena itu udah jadi rumah gue, dan mereka semua keluarga gue dan selamanya bakalan kayak gitu," jawab Jidan.
"Kok lo gak out sih, kalo lo masih ada di sana nanti kerjaan lo bakalan keganggu lagi," komen Mahen.
"Heh, lo pikir mudah apa? Gue bukan lo yang tiap hari kerja-kerja dan cari uang dan gak mikirin orang lain," sungut Jidan.
"Asal lo tau, gue juga pengen kayak lo yang bisa peduli sama temen-temen lo, tapi waktu itu cuma gue yang bisa dipercaya sama Papa buat urus perusahaan karena lo lebih dulu ikutan geng motor." Mahen menatap Jidan dengan dalam sambil bergumam dalam hatinya.
Beberapa tahun lalu.
"Mahen, Papa mau bicara sama kamu," ucap Marsel pada anak sulungnya itu.
"Iya, Pa." Mahen yang sedang membaca bukunya itu segera menaruh bukunya.
"Mahen, kamu tahu sendiri 'kan, Jidan ikutan geng motor." Mahen mengangguk.
"Papa sudah sakit-sakitan begini dan Papa yakin waktu Papa gak mungkin lama lagi buat urus perusahaan. Jadi, Papa mohon sama kamu buat urus perusahaan sama Mama kamu, ya," pinta Marsel.
Marsel sudah mengidap penyakit jantung yang sudah parah, bahkan ia sudah tidak bisa lagi mengurus perusahaannya. Selama ini yang mengelola adalah Dania, ia kasihan dengan istrinya itu dan memutuskan untuk meminta bantuan pada kedua anaknya.
Namun, salah satu anaknya malah tidak bisa diandalkan, dan malah ikutan dengan geng motor yang tidak jelas itu.
"Kenapa harus aku, Pa?" tanya Mahen yang tidak setuju dengan keputusan ayahnya itu.
"Karena cuma kamu yang bisa, Papa percaya. Jidan tidak mungkin," jawab Marsel.
Mahen terlihat sedih dengan keputusan ayahnya itu. Dalam lubuk hatinya, ia juga ingin seperti Jidan ikutan dengan geng motor bersama teman-temannya.
Lanjut? Jangan lupa komen di bawah 👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan dengan Ketua Geng: Season 2
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA!] "Shella, kamu masih hidup, atau cuma ilusi aku aja?" Jidan