Setelah hampir tiga minggu di rawat di rumah sakit, akhirnya hari ini tiba. Canny, yang sebelumnya sempat kritis, kini dinyatakan sehat oleh dokter. Namun, perjalanan pulang ini tidak semudah yang di harapkan. Hati Canny masih bergejolak.
"Aku ingin pulang ke rumah lama," tegas Canny dengan suara datarnya, sambil menghindari tatapan Jennie.
Jennie menarik napas panjang. Ia tahu ini tidak mudah untuk putri bungsunya. "Sayang rumah lama sudah terlalu lama kosong. Kita semua ada di sini sekarang. Bukankah lebih baik bersama?" bujuk Jennie lembut, meskipun ia tahu betapa keras kepala Canny.
Keenam kakaknya ikut berusaha membujuknya. Ruka, sebagai yang tertua, mencoba menyampaikan dengan tegas tetapi penuh kasih, "Canny, sudah cukup kamu sendirian kali ini, biarkan kami menemanimu."
Canny hanya diam, pandangannya tetap lurus ke depan, seolah kata-kata itu tidak pernah sampai ke telinganya.
.
.
.
.
.Di dalam mobil perjalanan menuju rumah keluarga terasa hening, meskipun sesekali ada percakapan ringan yang mencoba mencairkan suasana. Rora yang duduk di samping Pharita di bagian belakang mencoba menghidupkan suasana.
"Canny, nanti di rumah kau harus sekamar denganku!" katanya Rora dengan nada ceria.
Canny menoleh sekilas, lalu kembali memalingkan wajah ke luar jendela tanpa sepatah katapun.
Rora mendesah kesal. "Kak Pharita, lihatlah! Dia benar-benar tidak sopan. Aku berbicara tapi diabaikan begitu saja!"
Pharita tersenyum menenangkan. "Sudahlah, Rora. Yang penting dia mau pulang bersama kita. Itu sudah cukup."
Rami, yang duduk di belakang, ikut menambahkan dengan santai, "Iya, kau ini ribet sekali, Rora. Masalah dia mau sekamar dengan siapa, biarkan saja dia yang memilih."
Ucapan Rami membuat Rora semakin kesal. "Kalian ini, selalu saja membelanya!" Protesnya.
Di kursi kemudi, Ruka hanya tersenyum kecil melihat tingkah Rora yang selalu banyak drama. Namun, perhatian mereka tetap terarah pada Canny, yang masih terdiam dengan ekspresi datarnya.
Jennie yang duduk di samping Canny, mulai merasa khawatir. Ia mengusap lembut rambut Canny sambil berkata, "Ada apa, sayang? Apa yang kamu pikirkan?"
Canny menoleh perlahan. Tatapannya kosong, tetapi tiba-tiba air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menangis. Tangis yang pecah tanpa aba-aba, membuat semua orang yang berada di dalam mobil terkejut.
"Canny?" Jennie memeluk putrinya erat. Sayang, ada apa? Ceritakan pada bunda," ucapnya penuh kekhawatiran.
Ruka, yang sedang mengemudi, segera menepi di pinggir jalan. Semua kakaknya memandang dengan wajah bingung dan khawatir.
"Kak, Asa apa yang terjadi? bisik Ahyeon.
Asa menggeleng, lalu mencoba bertanya langsung pada Canny. "Adek, hei.... ada apa? Apa ada sesuatu yang kami ucapkan yang menyakitimu?"
Namun, Canny tetap menangis. Pelukannya pada Jennie semakin erat, tubuh kecilnya bergetar.
Rora yang biasanya suka bercanda kini mendekat. "Canny... kalau tadi kak Rora ada salah kata, maafkan kakak, ya? Jangan seperti ini..." ujarnya pelan, tanpa drama seperti biasanya.
Tiba-tiba, di sela-sela tangisnya, Canny berkata, "Apakah kalian tahu... betapa aku merindukan kalian semua selama ini? Betapa sulit... dan lelahnya aku menjalani hidup... tanpa kalian di sisiku?"
Semua orang terdiam. Kata-kata itu bagaikan tamparan keras yang membangkitkan semua kenangan pahit yang mereka coba kubur. Mata mereka mulai berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Bayang Ibu
RandomCanny, seorang gadis kecil berusia lima tahun, harus menghadapi kenyataan pahit setelah di tinggal pergi oleh ibunya dan keenam kakak perempuannya. Hidupnya berputar di sekitar perawatan perawatan ayah yang sakit dan berjuang dengan keterbatasan eko...